Pelajaran 5, Kegiatan 2
Sedang berlangsung

Kuliah

Pelajaran Progress
0% Menyelesaikan
00:00 /

Mungkin ketegangan yang paling krusial dalam percepatan globalisasi ini adalah beragam pandangan tentang Allah dan keselamatan. Di sinilah para pengikut berbagai agama menyentuh pertanyaan yang paling dekat di hati: Apa yang akan terjadi pada saya setelah saya mati?

Pandangan Hindu tentang Keselamatan

Orang-orang Hindu melihat diri mereka dan dewa-dewa mereka sebagai penampakan dari Brahman yang luar biasa agung dan tidak berpribadi. Mereka melihat diri mereka sebagai perpanjangan tangan Allah daripada sebagai pembawa gambar Brahman yang unik dan berbeda.

Mereka melihat waktu sebagai siklus berulang tanpa akhir. Oleh karena itu, sejarah tidak berada di sebuah garis waktu yang menuju kepada sebuah tujuan.

Umat Hindu karenanya tidak berbicara tentang sebuah keselamatan pribadi dari dosa atau sebuah pengharapan akan kebahagiaan abadi yang disadari. Keselamatan bagi mereka adalah pembebasan dari sebuah siklus kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali yang berpotensi tiada akhir. Mereka hidup di bawah hukum karma yang sedang berlangsung, doktrin retribusi Hindu. Jika Anda berbuat salah, Anda akan membayar—jika tidak dalam kehidupan ini, dalam reinkarnasi Anda berikutnya. Jika Anda baik, Anda akan bereinkarnasi ke level yang lebih tinggi. Jika tidak, pada level yang lebih rendah.

Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari siklus tanpa akhir ini adalah dengan berjalan di “tiga jalan” dari (1) bekerja—ketaatan yang cermat terhadap ritual-ritual dan upacara-upacara Hindu,

(2) pengetahuan—sampai pada kesadaran bahwa kita bukan perwujudan yang nyata, tetapi hanya penampakan dari Brahman, satu realitas,

dan (3) penyembahan—penyembahan yang giat terhadap salah satu dari dewa Hindu disertai dengan hubungan yang penuh kasih terhadap keluarga, atasan, rekan kerja, dan teman.

Tujuannya adalah sebuah penyatuan sempurna dengan Brahman yang tidak berpribadi dan tidak dapat didefinisikan sehingga hal itu menghasilkan hilangnya ilusi kesadaran diri. Karena konsep-konsep ini sulit untuk dipahami, biasanya orang Hindu yang lebih maju dan berpikiran filosofis melakukan sebuah upaya serius untuk menempuh jalan tiga rangkap ini.

Kebanyakan orang Hindu menemukan semacam kondisi kenyamanan dalam penyembahan terhadap dewa mereka, menerima sebuah keabadian dari kelahiran, kematian, dan kelahiran kembali. Harapan mereka adalah reinkarnasi yang lebih baik di kehidupan mereka berikutnya.

Pandangan Buddha tentang Keselamatan

Buddhisme, seperti Hindu, mencari pembebasan dari kehidupan sebagaimana yang kita ketahui. Buddhisme tidak menawarkan pengampunan atau kebangkitan individu.

Meskipun terbagi dalam banyak sekte—dari ateisme praktis Buddhisme Theravada hingga teisme Buddhisme Tanah Murni—ia adalah agama panteistik dalam segala bentuknya. Segala sesuatu dan setiap orang adalah sebuah penampakan dari satu realitas tertinggi yang tidak berpribadi.

Agama Buddha mirip dengan agama Hindu karena mengajarkan kelahiran berulang, kematian, dan kelahiran kembali. Agama ini juga mengajarkan prinsip bahwa perilaku pribadi dalam kehidupan ini menentukan kondisi kelahiran kembali berikutnya.

Tujuan tertinggi dari mengikuti “Empat Kebenaran Mulia” Buddha (lihat Pelajaran Empat) adalah untuk mencapai tingkat nirwana. Keadaan ini sering digambarkan sebagai “meniup,” seperti apa yang kita lakukan terhadap nyala api pada lilin. Orang lain menggunakan kata ketiadaan. Umat Buddha yang tampaknya paling dekat dengan ajaran Buddha menyamakan nirwana dengan ketiadaan.

Namun, tidak semua umat Buddha ingin berpikir tentang kepunahan total. Banyak yang menyatakan antisipasi atas kesadaran yang berkelanjutan di luar kehidupan ini. Seperti apa kehidupan pamungkas itu tidak jelas. Beberapa menegaskan suatu paradoks—bahwa dalam ketiadaan nirwana mereka akan mencapai kepenuhan yang tidak dapat dicapai dalam dunia tiga dimensi kita saat ini.

Pandangan Islam tentang Keselamatan

Orang-orang Muslim percaya pada satu Allah yang berpribadi, sebuah kebangkitan tubuh orang mati, penghakiman perorangan, dan dua takdir—surga bagi sebagian orang, neraka bagi yang lain.

Sementara Alquran sendiri tidak banyak berbicara tentang kondisi peralihan antara kematian dan kebangkitan, literatur Islam lainnya masuk ke banyak detail. Jiwa yang meninggalkan tubuh pada saat kematian dengan cepat dikembalikan ke sana.

Di dalam kubur seorang malaikat bertanya, “Siapakah Allahmu? Apa agamamu? Siapakah nabimu?” Jika jawabannya adalah “Allah, Islam, dan Muhammad,” orang itu diberi jendela ke surga dan dapat menikmati aroma yang menyenangkan. Jika jiwa memberikan jawaban yang salah, ia merasakan angin panas neraka. Beberapa orang Muslim percaya bahwa keadaan ini berlanjut sampai hari kebangkitan. Yang lain percaya bahwa pengalaman ini diikuti oleh tidur nyenyak hingga bangun pada hari terakhir.

Pada hari terakhir, semua akan dihakimi oleh Allah dan ditempatkan ke surga atau neraka.

Orang Muslim juga memiliki konsep surga dan neraka yang beragam. Beberapa mengambil deskripsi Alquran tentang surga secara harfiah dan melihatnya sebagai sebuah tempat kesenangan sensual. Namun, sebagian besar melihat kesenangan surga terbesar sebagai dekat dengan Allah.

Perbedaan yang sama berlimpah dalam konsep orang Muslim tentang neraka. Beberapa mengambil deskripsi Alquran secara harfiah dan melihatnya luar biasa mengerikan. Yang lain menganggap potret ini sebagai simbol dan menunjuk ke bagian-bagian lain dalam Alquran yang memberikan gambaran yang kurang menakutkan dan membiarkan kemungkinan bahwa hukuman itu tidak akan bertahan selamanya.

Alquran tidak melihat kodrat manusia berdosa. Sebaliknya, Alquran mengajarkan bahwa orang pada dasarnya baik. Orang-orang Muslim percaya bahwa orang-orang kadang berdosa karena mereka lemah dan pelupa, bukan karena mereka jahat.

Dosa-dosa mereka, karenanya, tidak membuat Allah sangat tidak senang. Dia tahu bahwa karena manusia hanyalah makhluk ciptaan, mereka akan berdosa kadang-kadang.

Akan tetapi jika Dia memilih untuk menunjukkan kebaikan kepada individu, Dia akan mengampuni mereka sebagaimanaa adanya mereka. Jika Dia memutuskan untuk menahan kebaikan hati-Nya, maka Dia tidak akan mengampuni.

Karena keberdosaan manusia bukanlah masalahnya, tidak perlu ditebus dan dilahirkan kembali.

Untuk diselamatkan, seorang Muslim harus menegaskan bahwa Allah itu satu, memandang Muhammad sebagai yang terbesar di antara semua nabi, menerima Alquran sebagai wahyu yang diilhamkan, percaya bahwa Allah menetapkan segala sesuatu yang terjadi, melafalkan pengakuan Islam, mengindahkan panggilan untuk berdoa, menjalankan puasa, memberi sedekah, dan melakukan setidaknya satu ziarah ke Mekah. Beberapa Muslim juga menuntut kepercayaan pada jihad (atau perang suci).

Mereka yang mencoba untuk memegang kepercayaan-kepercayaan ini dan memenuhi persyaratan-persyaratan ritualistik Islam ini hidup dalam tingkat ketidakpastian. Mereka berharap perbuatan baik mereka akan melebihi dosa mereka. Namun, mereka tidak yakin tentang nasib mereka. Mereka hanya bisa berkata, “Saya harap adalah kehendak Allah untuk menerima saya ke surga.”

Pandangan Orang Yahudi-Kristen tentang Keselamatan

Ajaran Alkitab tentang keselamatan berakar pada rahmat dan kasih Allah yang menggunakan prinsip “sebuah kehidupan untuk sebuah kehidupan” untuk menyelesaikan masalah dosa manusia. Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru menekankan pelanggaran dosa manusia di mata Allah yang kudus dan pengasih.

Mereka mengatakan bahwa karena kemurnian Allah yang mutlak dan tanpa kompromi, Dia tidak dapat dengan mudah mengampuni kita.

Ini menjelaskan mengapa Allah yang 1 Yohanes 4:16 katakan, “Allah adalah kasih,” melakukan upaya yang sedemikian ekstrem dan rela berkorban untuk menyelesaikan masalah dosa dan membuat keselamatan tersedia bagi mereka yang percaya kepada-Nya.

Bagaimana Allah dalam Alkitab melihat kita. Allah dalam Alkitab lambat untuk menjadi marah, tetapi karena Dia begitu sempurna dalam kasih dan kemurnian, Dia sangat berduka ketika Dia melihat orang melanggar hukum-hukum-Nya dan saling menyakiti satu sama lain.

Alkitab mengajarkan bahwa Dia telah menempatkan di dalam diri semua orang perasaan bawaan mengenai yang benar dan salah. Dalam Perjanjian Lama, Dia memberi perintah dan larangan untuk diikuti. Catatan Perjanjian Baru bahkan melangkah lebih jauh dengan memberi kita sebuah contoh sempurna untuk diikuti dalam Yesus.

Akan tetapi kita, secara alami, sebagai anggota dari umat manusia yang jatuh, terus-menerus gagal melakukan apa yang kita tahu harus kita lakukan, dan kita melakukan hal-hal yang kita tahu tidak seharusnya kita lakukan. Alkitab menunjukkan bahwa kita cenderung membuat berhala-berhala kesuksesan dan kebahagiaan daripada menjadikan Allah dan kehendak-Nya tujuan utama kita. Alkitab Perjanjian Lama dan Baru berulang kali menggambarkan umat manusia yang ditandai dengan keserakahan, ketidakjujuran, percabulan, kekejaman, dan egoisme.

Dalam Injil Perjanjian Baru, Yesus yang welas asih dan penyayang mendiagnosis penyakit itu sebagai sebuah kerusakan dari sifat dasar manusia ketika Dia berkata, “Sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7:21-22). Ini berarti bahwa orang-orang sakit karena dosa dan perlu disembuhkan. Pikiran, kata-kata, dan tindakan mereka adalah sebuah bau yang busuk bagi Allah yang menciptakan orang-orang tersebut untuk mencintai-Nya dan saling mengasihi.

Pandangan tentang sifat dasar manusia ini menjelaskan mengapa Alkitab begitu sering berbicara tentang murka Allah! Allah terlalu baik dan pengasih untuk mengabaikan kebutuhan akan keadilan dan belas kasihan. Baik Perjanjian Lama maupun Baru menggambarkan semua orang sebagai orang berdosa yang bersalah di hadapan Yang Kudus, Hakim moral semua. Karena itu, kita perlu diampuni sebelum kita dapat berhubungan dengan-Nya. Kita perlu diubahkan dari dalam sebelum kita benar-benar dapat mengasihi Dia dan satu sama lain.

Apa yang tidak bisa dilakukan oleh Allah dalam Alkitab. Menurut Alkitab, Allah tidak bisa mengabaikan kelemahan dan dosa manusia. Bahkan orangtua tidak dapat mengabaikan dosa-dosa anak-anak mereka atau mereka akan menuai sebuah panen yang pahit. Dan hakim yang tidak menghukum penjahat melakukan ketidakadilan terhadap kemanusiaan dan Allah.

Karena itu Allah, Pemberi Hukum tertinggi, Hakim, dan Penguasa semua, tidak bisa menganggap remeh dosa-dosa kita. Hukum-hukum-Nya bukanlah aturan-aturan sederhana yang tidak dipikirkan-Nya dengan sungguh-sungguh.

Hukum-hukum iut mengalir dari sifat dasar batiniah-Nya. Dia tidak dapat membuat: mencuri, berzina, dan membunuh menjadi benar daripada Dia dapat menciptakan dua gunung yang berdekatan tanpa lembah di antara mereka. Hukum-hukum-Nya tertulis dalam jalinan alam semesta. Ketika manusia dengan ceroboh atau memberontak menghancurkan hukum-hukum itu, mereka sesungguhnya menghancurkan diri mereka sendiri. Bagi Allah Alkitab, mengampuni tanpa memenuhi tuntutan kodrat kesucian-Nya adalah mustahil.

Apa yang dilakukan oleh Allah Alkitab. Allah dapat bertindak secara konsisten dengan kodrat-Nya dengan menghukum dan melarang semua manusia dari hadirat-Nya. Akan tetapi selain menyebut Dia “Yang Kudus,” Alkitab juga mengatakan bahwa Allah adalah kasih. Dan dalam kasih, Dia bertindak untuk memperbaiki masalah dengan mempersembahkan Anak-Nya sendiri sebagai pengorbanan dan pembayaran dosa manusia.

Orang-orang Kristen percaya bahwa Yesus, sebagai manusia-Allah, menjalani kehidupan tanpa dosa yang tidak manusia jalani dan mati dalam kematian yang pantas bagi mereka untuk mati. Allah, dalam pribadi Putera dan Mesias-Nya sendiri, mengalami kehancuran neraka di kayu salib dan memasuki kamar kematian. Penulis Perjanjian Baru Paulus menyatakan pesan bahwa “Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami” (2Kor. 5:19).

Para pengikut Kristus menunjukkan bahwa tawaran pengampunan ini sangat mahal bagi Allah. Menurut Perjanjian Baru, Allahlah yang menderita dan mati di kayu salib. Hal ini hanya dapat dipahami dengan pengakuan bahwa Allah dalam Alkitab ada sebagai suatu ketritunggalan dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

Perjanjian Baru tidak menggambarkan Allah sebagai pihak pertama yang menghukum Yesus (pihak kedua) karena dosa manusia. Perjanjian Baru tidak menggambarkan Allah menempatkan harga dari dosa manusia kepada seorang pengganti yang tidak bersalah. Sebaliknya, tiga-dalam-satu Allah, dalam pribadi Yesus, menjadi seorang manusia yang nyata untuk mengambil ke atas diri-Nya hukuman yang pantas untuk setiap anggota umat manusia.

Dalam kesatuan Tubuh Ketuhanan, ketiganya menderita ketika Anak dalam daging manusia mengalami keterpisahan neraka ketika berada di salib.

Oleh karena itu, pengikut Kristus tidak percaya bahwa Allah yang pengasih dan kudus tidak adil dalam mengampuni orang berdosa terburuk yang datang kepada-Nya untuk keselamatan. Mereka mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam atas kebaikan-Nya yang meluap. Orang-orang Kristen menunjukkan bahwa seorang yang bersalah tidak pernah memiliki sebuah hak untuk menuntut pengampunan. Hal itu hanya bisa datang melalui kemurahan hati orang yang disakiti. Allah dalam Alkitab melakukan apa yang Dia lakukan melalui anugerah semata. Orang-orang Kristen mengatakan bahwa mereka tidak dapat memahami cinta seperti itu, tetapi hanya dapat mengaguminya dan menyerahkan diri kepada Kristus dalam ketaatan, penyembahan, dan pelayanan yang penuh kasih.

Kabar baik dari Alkitab tidak berhenti sampai di sini. Yang Esa yang mati untuk membayar harga dosa setiap orang yang pernah hidup, juga mematahkan kuasa maut oleh kebangkitan-Nya. Perjanjian Baru menggambarkan Dia sebagai makhluk hidup—Juruselamat yang hidup dari semua orang yang akan mengakui dosa-dosa mereka dan memercayakan diri mereka kepada-Nya.

Rasul Paulus menulis, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya!” (Rm. 5:10).

Orang-orang yang menerima Allah dan Kristus dari Alkitab mengklaim jaminan bahwa suatu hari Yesus “akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Flp. 3:21).

Inilah inti sari dari apa yang orang Kristen sebut sebagai kabar baik tentang Kristus.

Kembali ke Permulaan

Iman Kristen abad pertama lahir di sebuah dunia yang majemuk. Mereka yang menerima Yesus sebagai Juruselamat dan Tuhan hidup di antara tetangga dan keluarga yang adalah orang Yahudi atau anggota dari berbagai agama pagan. Ini tidak berubah sampai 312 M, ketika kaisar Romawi Konstantinus menyatakan kekristenan sebagai agama negara. Ini menyebabkan periode panjang sejarah manusia di mana dunia terbagi menjadi negara-negara Kristen, Hindu, Buddha, dan Muslim. Bahkan ketika demokrasi Barat menetapkan prinsip “pemisahan gereja dan negara,” mereka dipandang sebagai negara “Kristen.” Akan tetapi, hal itu tidak lagi benar. Kita sekarang hidup dalam budaya dunia global yang bahkan lebih pluralistik daripada yang dihadapi oleh para pengikut Kristus yang pertama.

Kita sebaiknya belajar dari rasul Paulus. Saat mengunjungi Atena, dia terganggu oleh semua berhala yang dia lihat. Akan tetapi alih-alih menyerang atau menertawakan penyembahan berhala, ia “beralasan di rumah ibadat ia bertukar pikiran dengan orang-orang Yahudi dan orang-orang yang takut akan Allah, dan di pasar setiap hari dengan orang-orang yang dijumpainya di situ” (Kis. 17:17). Dalam percakapan dengan para filsuf non-Kristen, ia sopan dan hormat dalam mengakui keterbukaan mereka terhadap berbagai agama (ay. 22). Dia dengan baik mengutip salah satu penyair mereka sendiri (ay. 28), dan cukup jeli untuk melihat pertanyaan yang mereka miliki tentang “Allah yang tidak dikenal.” Dia bersedia membagikan keyakinannya sendiri bahwa Yesus, dalam bangkit dari kematian, telah menjawab banyak pertanyaan tentang siapa Allah itu dan apa yang harus kita lakukan untuk diterima oleh-Nya. Dalam kasus Paulus, beberapa menerima alasannya, dan yang lain tidak.

Dalam dunia dengan banyak perspektif keagamaan, mustahil untuk menghindari perbedaan keyakinan secara jujur. Demi integritas intelektual dan spiritual, orang harus bebas mempertimbangkan bukti terkait Allah. Apa yang tidak boleh di antara kita hasilkan adalah jenis intoleransi agama yang berusaha memaksakan keyakinannya kepada orang lain.

Rasul Paulus memberi para pengikut Kristus teladan yang baik untuk mengekspresikan keyakinan kita tanpa melewati batas intoleransi dan tidak dengan hormat. Kepada seorang pendeta muda bernama Timotius, Paulus menulis, “Sedangkan seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus cakap mengajar, sabar dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan, sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran.” (2Tim. 2:24-25).