Pelajaran 3, Kegiatan 2
Sedang berlangsung

Kuliah

Pelajaran Progress
0% Menyelesaikan
00:00 /

Semua orang, bahkan anak kecil, secara naluriah mengajukan pertanyaan seperti: Siapa yang membuat segalanya? Mengapa orang begitu berbeda dari binatang? Mengapa kita di sini? Apa yang terjadi pada kita ketika kita mati? Di sebuah rumah di mana anak-anak merasa nyaman berbicara dengan orang tua mereka, mereka cenderung untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Mereka pantas mendapat jawaban jujur.

Pada titik tertentu, anak-anak kita mungkin ingin tahu tidak hanya apa beragam jawaban agama tetapi juga bagaimana mereka membandingkannya dengan teori sains yang naturalistis dan evolusioner. Meskipun sekularisme biasanya tidak dianggap sebagai sebuah agama dunia, tetapi ia berkompetisi dengan jawaban-jawaban agama dalam menjelaskan asal usul, makna, dan takdir dari eksistensi manusia.

Pandangan Naturalistik tentang Allah dan Penciptaan

Pandangan yang mendominasi institusi pendidikan publik disebut evolusi naturalistik. Pandangan ini menyangkal atau mengabaikan keberadaan satu Allah yang berpribadi dan dunia roh.

Ini mengarah pada kesimpulan bahwa kita adalah produk kebetulan dari sebuah proses evolusi acak. Agar konsisten, banyak yang memegang pandangan ini menolak konsep tujuan atau makna, dan melihat perasaan dan pikiran terdalam kita sebagai produk dari proses kimiawi dalam otak fisik kita.

Mereka percaya bahwa pada saat kematian kita hilang dari eksistensi dan bahwa saatnya akan tiba ketika semua kehidupan akan lenyap ke dalam kehampaan abadi.

Yang menarik, hanya sedikit orang tua yang mencoba meyakinkan anak-anak mereka bahwa evolusi naturalistik itu benar. Relatif sedikit yang mempercayainya. Dari 1982 hingga saat ini, jajak pendapat Gallup secara konsisten menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 persen orang Amerika benar-benar percaya bahwa kehidupan tersusun semata-mata oleh kebetulan dan kekuatan alam. Sekalipun faktanya pandangan evolusi naturalistik telah mendominasi institusi pendidikan dan media pemberitaan kami selama lebih dari 50 tahun! Itu tidak masuk akal bagi kebanyakan dari kita. Secara intuitif, kita tahu bahwa kita lebih dari sekadar produk kebetulan dari serangkaian kebetulan yang panjang. Kita tidak dapat menerima bahwa semua pikiran, keinginan, dan perasaan kita hanyalah sebuah permasalahan kimiawi. Kita merasakan bahwa yang melekat dalam diri kita terdiri dari aturan-aturan untuk berperilaku, sebuah tujuan hidup, dan sebuah signifikansi yang kekal.

Memang, tidak alami atau mudah untuk mengambil sebuah pandangan hidup yang sama sekali tanpa agama. Anda tidak perlu berkenalan dengan argumen klasik tentang keberadaan Allah untuk bertanya-tanya mengapa ada sesuatu alih-alih dari yang tidak ada, dan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat sederhana seperti ini:

  • Apa yang menjelaskan fakta bahwa kita dapat memikirkan makna hidup dan mengomunikasikan pikiran kita?
  • Mengapa orang di mana-mana menyadari bahwa hal-hal tertentu benar secara moral dan yang lain salah, dan bahwa perbedaan-perbedaan ini cukup sama di seluruh dunia?
  • Meskipun kita semua kadang-kadang bertindak melawan hati nurani kita sendiri, mengapa kita semua memiliki kesadaran batin yang mendalam bahwa kita harus lebih baik daripada kita?
  • Mengapa begitu sulit untuk menghapus dari batin kita perasaan bahwa kita dalam beberapa hal bertanggung jawab kepada Pencipta kita?

Bahkan di antara para ilmuwan terkemuka, semakin sulit untuk menjadi seorang ateis. Kesadaran yang semakin meningkat akan kerumitan yang mencengangkan di bidang fisika dan biologi membuat banyak naturalis yang diakui membuat pengakuan-pengakuan yang mengejutkan.

Fred Heeren, dalam bukunya Show Me God, mengutip fisikawan brilian Freeman Dyson: “Alam semesta dalam arti tertentu pasti tahu kita akan datang” (hal. 70).

Dan dalam catatan kaki kutipan itu, ia mengatakan bahwa astrofisikawan Inggris terkenal, Sir Fred Hoyle, seorang yang skeptis, berulang kali berbicara tentang sebuah “kecerdasan utama,” dan mengakui bahwa kecerdasan ini memang “berhubungan erat dengan gagasan Yahudi-Kristen tentang satu Allah di luar alam semesta.”

Penting untuk melihat bahwa para teis dan panteis bersama-sama menentang pandangan dunia materialistis yang menyangkal keberadaan roh manusia. Setidaknya dalam hal ini, kita memiliki beberapa keyakinan dasar yang penting.

Sekalipun begitu, di dalam masing-masing agama besar ada individu-individu dan kelompok-kelompok yang hidup dan berpikir seperti ateis praktis. Meskipun mereka mengidentifikasikan diri dengan agama dari kebudayaan mereka, mereka memberikan begitu sedikit pertimbangan terhadap keberadaan satu Allah yang berpribadi sehingga mereka lebih memiliki kesamaan dengan materialisme naturalistik.

Pandangan Hindu tentang Allah dan Penciptaan

Agama Hindu melihat Allah dan alam semesta sebagai satu esensi abadi. Ini adalah sebuah sistem keagamaan yang beragam dan kompleks yang mencakup segalanya, mulai dari ateis hingga teis. Akan tetapi bahkan para teis Hindu, meskipun kadang-kadang berbicara tentang dewa Siwa sebagai pencipta dan penopang alam semesta, tidak percaya pada satu Allah yang transenden, tak terbatas, abadi, dan personal yang berhubungan dengan alam semesta sebagai Pencipta dan Pemelihara.

Pada tingkat tertentu, semua umat Hindu berbicara tentang sebuah realitas pamungkas yang abadi, tak terbatas, netral, mencakup segalanya yang mereka sebut Brahman. Dia (atau) digambarkan sebagai tanpa atribut atau kualitas pribadi.

Pada tataran praktis, baik untuk diingat bahwa Brahman hanya memainkan sebuah peranan kecil di antara umat Hindu yang kurang filosofis. Mereka menyembah Siwa, Wisnu, Krisna, dan sejumlah dewa yang lebih rendah. Mereka cenderung melekatkan kepribadian kepada beberapa dewa ini. Namun mereka diajar untuk melihat dewa-dewa ini sebagai produk dari sebuah kekuatan abadi, impersonal, dan meliputi segalanya.

Singkatnya: Hinduisme memandang Allah dan alam semesta sebagai satu kesatuan abadi. Tidak berbicara tentang Allah sebagai satu pribadi yang berbeda dari dunia material.

Pandangan Buddha tentang Allah dan Penciptaan

Seperti Hindu, agama Buddha memandang Allah dan alam semesta sebagai satu. Karenanya, agama Buddha tidak mengiakan sebuah kejadian penciptaan. Baik Allah maupun alam semesta tidak bisa ada tanpa yang lain.

Buddhisme, seperti Hinduisme, termasuk ateis di satu ujung spektrum dan teeis di ujung lainnya. Umat Buddha Theravada, misalnya, secara terbuka menolak keberadaan Allaha yang berpribadi. Sebaliknya, umat Buddha Tanah Murni tampaknya telah mencampurkan beberapa gagasan Kristen ke dalam sistem kepercayaan mereka dan berbicara tentang Allah sebagai satu keberadaan yang berpribadi. Akan tetapi, mereka tampaknya masih menyamakan Allah dengan alam semesta.

Jainisme, Shintoisme, dan Taoisme semuanya memiliki unsur panteisme dan politeisme, dan dalam beberapa hal menyerupai sekte-sekte Hindu tertentu. Sikhisme adalah sebuah upaya untuk memadukan teisme Islam dengan panteisme Hindu, dan memiliki banyak unsur yang luhur. Bahaisme tidak mengadopsi doktrin khusus tentang Allah, lebih memilih untuk menekankan kesatuan esensial semua agama dan kesetaraan semua orang. Keduanya memiliki pedoman-pedoman yang luhur, tetapi tidak satu pun yang mengakui satu Allah berpribadi yang tak terbatas, abadi, yang berhubungan dengan alam semesta sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Penguasa.

Pandangan Islam tentang Allah dan Penciptaan

Muslim, seperti Yahudi ortodoks dan Kristen, percaya pada satu Allah yang berpribadi, kekal, mahakuasa, dan melihat Dia sebagai Pencipta dan Pemelihara semua yang ada.

Seperti dua agama monoteistik lainnya, Islam berpendapat bahwa Allah menciptakan makhluk bermoral dengan kemampuan untuk menyembah dan melayani-Nya. Tidak seperti orang Yahudi dan Kristen, Islam berbicara tentang makhluk moral yang disebut jin yang ada di suatu tempat antara malaikat dan manusia dalam kekuasaan dan kecerdasan.

Islam berpendapat bahwa malaikat diciptakan tanpa dosa, tetapi tanpa kapasitas atau kesempatan untuk memilih antara ketaatan dan ketidaktaatan.

Jin biasanya tidak terlihat, tetapi seperti kita mereka dapat memilih antara kepatuhan dan ketidaktaatan. Setan adalah seorang jin, pemimpin dari kelompok jin yang mengikutinya dalam pemberontakannya melawan Allah.

Kisah penciptaan dalam kitab suci Muslim, Alquran, sangat berbeda dari kisah Kejadian. Namun ada kesamaan, karena Muhammad, pendiri Islam, mengajar para pengikutnya untuk menegaskan semua nabi Perjanjian Lama dan Baru, sambil mengklaim bahwa ia telah menggantikan Kristus sebagai utusan Allah.

Orang-orang Muslim percaya bahwa Allah itu begitu agung sehingga manusia tidak dapat berasumsi untuk mengenal-Nya. Atas dasar kehendak-Nya sendiri, Dia menggunakan hak-Nya untuk berbelas kasih kepada beberapa orang dan tidak berbelas kasih kepada orang lain. Tidak ada dalam sifat-Nya yang menuntut agar Dia mengasihi, baik hati, dan benar dalam setiap situasi.

Berdasarkan Alquran (Sura 37:94): “Jika Allah ingin menarik seseorang kepada diri-Nya, maka Dia akan memberinya rahmat yang akan membuat orang itu melakukan perbuatan baik. Jika Dia ingin menolak seseorang dan mempermalukan orang itu, maka Dia akan menciptakan dosa di dalam dirinya. Allah menciptakan semua hal, baik dan jahat. Allah menciptakan manusia dan juga tindakan-tindakan mereka: Dia menciptakan Anda dan juga apa yang Anda lakukan.”

Pandangan Yahudi-Kristen tentang Allah dan Penciptaan

Doktrin penciptaan Yahudi-Kristen adalah bahwa ada Roh yang mahakuasa dan berpribadi mengatakan segala sesuatu menjadi ada, tetapi tetap berbeda dari ciptaan-Nya.

Setelah membentuk bumi, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri.

Menurut Alkitab, Allah ini adalah satu di dalam esensi-Nya. Meskipun Perjanjian Lama menunjukkan kemajemukan dalam kesatuan ini, Perjanjian Baru dengan jelas mengajarkan bahwa satu-satunya Allah yang sejati ada dalam tiga pribadi yang sama sejajar dan sama abadi. Orang-orang Yahudi dan Muslim menganggap kepercayaan pada ketritunggalan Allah ini sebagai sebuah penyangkalan akan kesatuan-Nya dan sebagai politeisme tahap awal.

Pandangan Yahudi-Kristen tentang Allah melihat Dia tidak hanya berpribadi, tetapi juga dapat dikenal. Sementara Alkitab mengakui bahwa makhluk yang terbatas tidak pernah dapat sepenuhnya memahami Dia, baik Kitab Suci Perjanjian Lama dan Baru mengatakan bahwa rencana Allah adalah untuk mengungkapkan diri-Nya tidak hanya melalui Kitab Suci tetapi juga melalui Mesias yang dijanjikan.

Orang-orang dari Perjanjian Lama masih menunggu Mesias ini datang dan menyatakan “Allah beserta kita,” tetapi Perjanjian Baru menyatakan bahwa Mesias yang dijanjikan telah muncul dalam pribadi Yesus Kristus.

Alkitab menggambarkan Allah sebagai Allah yang berbicara kepada kita, membuat janji kepada kita, memberi tahu kita apa yang harus kita lakukan, dan meyakinkan kita bahwa jika kita menerima cara-cara-Nya Dia akan mengampuni kita, menerima kita, dan memenuhi kebutuhan kita yang terdalam sepanjang waktu dan keabadian.