Kuliah
Sejak kecil, kita semua pernah mendengar ujaran, “Itu tidak adil!” Itu adalah pernyataan protes yang mengungkapkan pengalaman universal yang kita semua rasakan—salah satunya adalah diperlakukan tidak adil. Tanggapan yang paling umum terhadap protes masa kecil tersebut adalah, “Ya, hidup memang tidak adil.” Meski itu tidak terlalu menghibur bagi seorang anak, melalui perjalanan hidup kita semua belajar bahwa, pada kenyataannya, dunia bukanlah sebuah tempat yang adil.
Ketika beranjak dewasa, pertanyaan tentang keadilan dapat berubah menjadi dua pertanyaan filosofis, “Mengapa hal buruk terjadi pada orang baik?” dan “Mengapa hal baik terjadi pada orang jahat?” Ketidakadilan dalam hidup yang dialami pada masa kanak-kanak dapat berkembang menjadi ketidakadilan yang tidak dapat dijelaskan oleh banyak orang. Ketika diterapkan pada iman Kristen, kedua pertanyaan tersebut membentuk fondasi yang mendasari pertanyaan utama tentang keberadaan kejahatan. Itu biasanya diungkapkan melalui pernyataan, “Jika Tuhan itu Mahabaik, Maha Pengasih, dan Mahakuasa, lantas mengapa Dia mengizinkan kejahatan terjadi di dunia ini?”
JIka engkau pernah menanyakan hal sama, maka engkau tidak sendirian. Pada ayat-ayat awal Kitab Habakuk, sang nabi menunjukkan rasa ketidakpuasan dan kebingungannya tentang kejahatan yang diijinkan terjadi. Habakuk menuliskan,
Berapa lama lagi, ya TUHAN, aku berteriak,
tetapi tidak Kaudengar;
Atau berseru kepada-Mu, “Kekerasan!”
tetapi tidak Kautolong?
Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan,
dan memandangi saja kelaliman?
Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku;
perbantahan dan pertikaian menjadi-jadi.
Itu sebabnya hukum tak lagi berdaya
dan keadilan tidak pernah ditegakkan.
Sungguh, orang fasik mengepung orang benar,
itulah sebabnya keadilan diputarbalikkan. (1:2-4)
Di dalam dunia terdapat berbagai macam ketidakadilan. Berita tiap hari sepertinya tidak lebih dari cerita-cerita tentang penderitaan orang yang tidak bersalah, baik karena penindasan politik, kekurangan makanan, wabah penyakit, atau berbagai bentuk penganiayaan. Namun, mengapa? Mengapa Allah mengizinkan penderitaan terjadi? Pada ayat-ayat tersebut, Habakuk mengajukan beberapa pertanyaan mendalam, yang semuanya berkaitan dengan keberadaan kejahatan dalam terang realitas Allah.
Tulisan Habakuk hadir pada masa Yoyakim—salah satu putra Yosia, raja Yehuda yang adil—menjadi raja. Tidak seperti ayahnya, pemerintahan Yoyakim tidak menunjukkan keadilan bagi orang miskin dan yang membutuhkan. Sebaliknya, pemerintahannya mengeksploitasi rakyat demi keuntungan pribadi tanpa memedulikan keadilan atau belas kasihan. Lebih buruk lagi, mereka yang di posisi bawah dalam pemerintahan mengambil contoh dari Yoyakim, yang mengakibatkan penindasan dan kekerasan secara nasional. Satu-satunya harapan adalah campur tangan Allah atas nama rakyat.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Habakuk masih relevan hingga saat ini—bagi sebagian orang, itu menantang eksistensi Allah. Argumennya didasarkan pada dua premis berikut ini: Jika Allah itu baik dan penuh kasih, Ia tidak ingin ada orang yang menderita; dan jika Allah itu Mahakuasa, Ia dapat menghentikan semua penderitaan. Kesimpulan logis dari kedua premis tersebut adalah bahwa karena penderitaan itu ada, Allah yang baik pasti tidak ada, karena jika Allah yang Mahakuasa dan baik itu ada, penderitaan tidak akan ada.
Masalah pada argumen ini ada dua. Pertama, kesimpulan bahwa Allah tidak ada karena penderitaan ada tidak menjelaskan mengapa kejahatan ada di dunia. Keberadaan Allah sepertinya tidak berdampak terhadap apakah kejahatan itu ada atau tidak. Apakah seseorang percaya atau tidak percaya kepada keberadaan Allah tidak memungkiri kenyataan bahwa hal-hal buruk terjadi. Kenyataannya, kemampuan manusia mengenali kehadiran kejahatan menunjukkan adanya hukum moral dalam diri manusia, yang memungkinkannya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Hukum moral hanya bisa ada jika itu dikaruniakan oleh Pemberi hukum moral yang berada di luar realitas kita. Namun, kenyataan itu justru mendukung keberadaan Allah, bukan menyangkalnya.
Awalnya itu mungkin terdengar seperti sebuah tipu daya filosofis. Namun, tanpa hukum moral, umat manusia tidak akan mampu menentukan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, dan karenanya, mereka tidak akan mampu mengenali kejahatan. Hanya karena Allah ada dan Ia mengaruniakan kepada kita hukum moral yang dapat digunakan untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, kita dapat mengenali kejahatan. Ironisnya, itu justru membuat orang-orang mempertanyakan keberadaan-Nya.
Kedua, meski pernyataan yang kedua itu benar, yaitu bahwa Allah yang Mahakuasa dapat menghentikan penderitaan, bukan berarti pernyataan yang pertama pasti benar, yaitu karena Allah itu baik dan penuh kasih, Ia tidak akan membiarkan penderitaan ada. Sebagai orangtua, meski kita sangat mengasihi anak-anak kita dan dapat melindungi mereka dari banyak bahaya, kita sesekali mengizinkan mereka mengalami kesulitan untuk mempersiapkan mereka menghadapi dunia nyata. Penderitaan dan rasa sakit dapat memberi pelajaran berharga dalam hidup kita. Contohnya, tubuh kita menggunakan rasa sakit untuk memberi tahu kita ada sesuatu yang salah. Namun, sebagian besar orang berpendapat bahwa itu bukan penderitaan yang dimaksud. Sebaliknya, yang dimaksud adalah penderitaan orang-orang yang tidak bersalah—penderitaan yang dicirikan sebagai kejahatan yang berlebihan, yang akan kita bahas di bawah ini.
Untuk menjawab pertanyaan tentang kejahatan tersebut, kita perlu memperjelas apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Dalam arti yang paling luas, kejahatan dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak baik, atau perbuatan apa pun yang berakibat negatif. Namun, arti itu terlalu luas untuk dapat digunakan. Karena itu, kita akan membagi kejahatan ke dalam dua kategori utama: kejahatan alami dan kejahatan moral.
Kejahatan alam mencakup bencana fisik seperti tornado, kebakaran hutan, gempa bumi, gunung meletus, dan penyakit seperti kanker, penyakit jantung, diabetes, dan pandemi seperti Covid-19. Banyak dari kejahatan-kejahatan alam seperti itu biasanya diberi label “campur tangan Allah”.
Di sisi lain, kejahatan moral mengacu pada tindakan seseorang terhadap orang lain, misalnya: kekerasan fisik, penindasan politik, perang, dan kegiatan kriminal. Kategori kejahatan moral meliputi satu orang yang memperlakukan orang lain dengan niat bermusuhan hingga tindakan ketidakadilan yang ekstrem seperti perdagangan manusia, pelecehan anak, dan penyiksaan. Perbuatan-perbuatan tersebut membuat kita bertanya, “Bagaimana mungkin seseorang bisa memperlakukan orang lain dengan begitu buruk?” Itu menunjukkan bahwa di dalam diri manusia terdapat kemampuan untuk melakukan tindakan kekerasan yang paling keji terhadap orang lain dan bahwa realitas kejahatan di dunia merupakan hasil dari sifat alami manusia yang telah jatuh ke dalam dosa, bukan perbuatan Allah.
Perlu dicatat bahwa pandangan Ateisme memiliki banyak pertanyaan yang harus dijawab mengenai kejahatan moral. Jumlah kematian yang disebabkan oleh orang-orang yang mengikuti pandangan tersebut sangat jelas. Pikirkan beberapa pemimpin ateis berikut ini: Kim Il Sung, pemimpin Korea Utara, membunuh lebih dari 1,6 juta orang yang menentang pemerintahannya. Pol Pot, pemimpin partai komunis di Kamboja, dalam usahanya “menyucikan” negara tersebut, membunuh antara 1,7 hingga 2,5 juta orang—kurang lebih sepertiga dari populasi negara tersebut.
Salah satu pemimpin ateis yang paling terkenal dalam sejarah adalah Adolf Hitler, sang führer yang menganut filosofi “Allah telah mati” yang dipopulerkan oleh filsuf Jerman, Nietzsche, dan membunuh lebih dari 10 juta orang. Angka yang diperkirakan oleh banyak orang jauh lebih tinggi daripada itu.
Terakhir, kita harus menyebut nama Josef Stalin dan Mao Zedong. Stalin, Sekretaris Partai Komunis dan pemimpin bekas negara Uni Soviet, dianggap bertanggung jawab atas 23 juta kematian manusia. Pendekatan kepemimpinannya adalah memerintah melalui rasa takut. Alexander Solzhenitsyn memperkirakan bahwa total korban jiwa di bawah kepemimpinan Lenin, Stalin, dan Khrushchev mencapai 66 juta orang.
Mao Zedong mungkin adalah pemimpin yang paling kejam dari semua pemimpin dengan jumlah korban jiwa mencapai antara 60 hingga 65 juta orang. Selama lima tahun awal masa pemerintahannya, ia mengukuhkan kekuasaannya dengan membunuh 4 hingga 6 juta orang dengan menghukum mati atau bekerja di kamp kerja paksa. Kemudian, melalui kepemimpinannya yang gagal dalam hal produksi baja, ia menyebabkan 20 juta orang mati kelaparan. Kematian lainnya terjadi karena ambisinya untuk terus memegang kendali dan kekuasaan.
Menurut Greg Koukl, kematian yang diakibatkan oleh para pemimpin ateis adalah hasil dari ideologi yang tidak melibatkan Allah. Koukl melanjutkan dengan berkata bahwa “Fasisme dan Komunisme, yang keduanya merupakan ideologi kaum ateis, bertanggung jawab atas kematian lebih dari 150 juta orang di abad ke-20 saja. Dan, rezim-rezim komunis dan rezim-rezim anti-Tuhan lainnya terus membunuh ratusan ribu orang sejak saat itu. Bila kita menambahkan jutaan kasus pemerkosaan, penyiksaan, dan perbudakan oleh rezim-rezim tak bertuhan yang sama, gambaran yang buruk akan muncul.” Sejarah menunjukkan bahwa jauh lebih banyak kematian diakibatkan oleh penindasan politik kepemimpinan ateis di abad ke-20 daripada yang diakibatkan oleh eksistensi kekristenan selama dua ribu tahun.
Menanggapi hal di atas, beberapa orang berkata bahwa sejarah agama Kristen bukannya tanpa kesalahan. Dalam hal ini mereka benar. Di sepanjang sejarah, ada banyak orang mengaku Kristen tetapi bertanggung jawab atas banyak pertumpahan darah. Beberapa tuduhan paling populer yang dilontarkan terhadap agama Kristen adalah Inkuisisi, Perang Salib, dan Pengadilan Penyihir Salem. Namun, semua kekejaman tersebut tidak seberapa jika dibandingkan dengan kekejaman yang ditimbulkan oleh pandangan Ateisme di dunia. Inkuisisi mengakibatkan sekitar 5 ribu kematian selama kurang lebih 300 tahun. Perang Salib, yang terdiri dari delapan jilid perang, mengakibatkan sekitar 1,5 juta kematian, sedangkan Pengadilan Penyihir Salem berakhir dengan total 19 orang terbunuh.
Jumlah orang yang terbunuh dalam contoh-contoh di atas sama sekali tidak mengurangi penderitaan orang-orang yang menderita, dan tidak ada alasan yang dapat membenarkan semua tragedi tersebut. Namun, contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa agama Kristen tidaklah sekejam yang dituduhkan beberapa orang. Semua contoh itu menunjukkan kebobrokan natur manusia bahkan di antara orang-orang yang secara keliru mengaku Kristen untuk membenarkan tindakan mereka.
Harus diakui bahwa orang-orang yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan seperti itu sambil mengaku berpegang pada iman Kristen bertindak berlawanan dengan apa yang mereka imani. Kristen sejati adalah orang yang tidak hanya memercayai kebenaran Alkitab, tetapi juga selama hidupnya berusaha untuk mencerminkan kebenaran-kebenaran tersebut. Namun, orang-orang yang menyangkal keberadaan Allah dalam banyak hal bertindak sesuai dengan pandangan dunia, sebab tanpa Allah, tidak ada hukum moral absolut yang dapat digunakan untuk menentukan apakah sebuah tindakan benar-benar jahat. Dan, tanpa ukuran penentu tersebut, bagaimana mungkin sebuah tindakan dapat dikatakan salah?
Bukan berarti orang-orang Kristen itu sempurna. Hanya saja, orang-orang yang menyebut nama Kristus tidak akan melakukan tindakan-tindakan tercela secara moral yang terkait dengan kejadian-kejadian seperti Perang Salib atau Inkuisisi. Maka, dapat kita simpulkan bahwa tidaklah masuk akal menolak agama Kristen hanya karena tindakan beberapa orang yang hidupnya bertentangan dengan apa yang diajarkan Alkitab.
Tidak diragukan lagi, pertanyaan tentang kejahatan adalah salah satu isu yang paling sulit dijawab oleh orang-orang yang skeptis, bahkan oleh kita sendiri pada masa-masa kita diuji dan meragu. Menurut Josh dan Sean McDowell, “Kejahatan dan penderitaan bukan hanya masalah intelektual yang harus dipecahkan, tetapi merupakan bagian dari pengalaman pribadi kita.” Jawaban untuk pertanyaan tentang kejahatan, menurut Alkitab, cukup mudah. Kejahatan ada karena kejatuhan manusia ke dalam dosa dan kebebasannya. Itu tidak menyiratkan bahwa Alkitab meminimalkan kesedihan dan penderitaan yang dialami manusia. Alkitab hanya menjelaskan penyebabnya dan memberi jawaban serta pengharapan.
Di dalam Kejadian 3 kita membaca tentang pemberontakan Adam dan Hawa terhadap Allah dan kejatuhan ke dalam dosa sebagai akibatnya. Semua orang yang lahir setelah mereka terlahir dengan natur dosa—kecenderungan hati tidak berusaha menjalani hidup yang benar seperti yang ditetapkan Allah. Seluruh kisah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah tentang bagaimana Allah mendamaikan manusia agar kembali kepada-Nya, yang Dia tuntaskan di dalam Yesus. Selain natur dosa, manusia juga memiliki kebebasan, yaitu bebas melakukan apa yang kita inginkan, yang biasanya adalah apa yang paling menguntungkan kita. Umat manusia, dalam hasratnya akan kekuasaan, kemakmuran, dan kemuliaan, mengobarkan perang, menciptakan malapetaka, menindas orang-orang, dan memaksakan agenda-agenda pribadi—seringkali dengan mengorbankan orang lain. Di sinilah kejahatan moral menemukan dasarnya, yaitu pada tindakan egois dan keserakahan orang lain.
Namun, bagaimana dengan kejahatan alam—cuaca ekstrem dan bencana-bencana lain yang dikategorikan sebagai “campur tangan Allah”? Peristiwa-peristiwa itu juga adalah akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa. Di dalam Roma 8:20-22 kita membaca bahwa dosa tidak hanya berdampak terhadap manusia, tetapi juga seluruh ciptaan yang “ditaklukkan kepada kesia-siaan” hingga hari ketika ciptaan akan “dimerdekakan dari ikatan kebinasaan”. Tatanan alam menantikan penebusannya ketika itu dipulihkan dalam keadaannya yang semula seperti yang dijelaskan di dalam pasal-pasal terakhir dari kitab Wahyu.
Sebagai analisis kita yang terakhir, karena pemahaman manusia terbatas, kita tidak sepenuhnya memahami alasan mengapa beberapa peristiwa terjadi. Bukan berarti Allah tidak sadar atau tidak peduli dengan kondisi manusia. Kenyataannya, justru karena kondisi manusiawi kitalah Allah menawarkan penebusan untuk mengatasi perbuatan-perbuatan manusia yang paling gelap. Dia dapat menggunakan peristiwa yang paling keji sekalipun untuk tujuan akhir-Nya.
Menyingkirkan Allah dari pertimbangan kita tidak akan menjawab pertanyaan mengapa kejahatan itu ada. Tanpa-Nya kita masih harus menghadapi tindakan-tindakan jahat dan hukum moral yang tidak dapat kita jelaskan. Jadi, mungkin pertanyaannya bukanlah “Mengapa Allah tidak campur tangan dalam penderitaan manusia?” melainkan, “Mengapa manusia menolak menuruti Allah dan hidup damai satu sama lain seperti yang Ia inginkan?”
Di dalam dunia yang telah jatuh ke dalam dosa dan rusak oleh manusia yang hidup di dalamnya, Allah menawarkan harapan akan kehidupan kekal dan hidup yang diubahkan. Tantangannya adalah manusia ingin bebas melakukan apa pun sesuai keinginannya, tetapi mereka juga menuntut Allah supaya campur tangan dalam setiap titik sejarah untuk meringankan penderitaan yang diakibatkan oleh kebebasan tersebut. Sayangnya, keduanya tidak bisa sekaligus terjadi. Alkitab menubuatkan suatu hari ketika semua kejahatan dan penderitaan berakhir dan keadaan ciptaan yang semula dipulihkan. Kita dapat mengharapkan hal itu, bukan hanya untuk hari ini tetapi untuk selama-lamanya.