Kuliah
Di antara tahun 1940 dan 1984, Francis Schaeffer melayani sebagai pendeta, apologis Kristen, dan salah satu pendiri L’Abri—bersama istrinya, Edith, pada tahun 1955—sebuah pelayanan yang didedikasikan untuk mengembangkan diskusi-diskusi tentang gagasan-gagasan religius dan kultural pada masa itu. Dalam salah satu bukunya yang paling populer, True Spirituality, Schaeffer mulai dengan menceritakan sebuah titik balik dalam pelayanannya. Ia menulis,
Pada tahun 1951 dan 1952 saya menghadapi krisis rohani. Saya beralih menjadi seorang Kristen dari seorang agnostik beberapa tahun sebelumnya. Setelah itu saya menjadi pendeta selama sepuluh tahun di Amerika Serikat. Kemudian saya dan istri saya, Edith, bekerja di Eropa selama beberapa tahun. Selama masa-masa itu, saya merasakan beban yang besar untuk berdiri teguh di atas pandangan agama Kristen yang historis, dan kemurnian Gereja yang kelihatan. Namun, lambat laun, sebuah masalah datang, yaitu masalah realitas. Itu terdiri dari dua bagian: pertama, di antara banyak orang yang memegang pandangan ortodoks, bagi saya sepertinya hanya sedikit yang melihat realitas yang Alkitab ungkapkan dengan jelas sebagai hasil dari kekristenan. Kedua, perlahan saya mulai menyadari bahwa realitas saya sendiri tidaklah sama seperti masa-masa awal saya menjadi seorang Kristen.
Schaeffer mengalami apa yang dialami oleh banyak orang percaya pada satu titik di dalam hidup mereka. Saat dimana keterpisahan antara apa yang diketahui benar dan sejauh mana pengetahuan itu dihidupi menjadi jelas. Semakin kita bertumbuh secara rohani, makin kita menyadari bahwa dosa tidak hanya diekspresikan melalui tindakan-tindakan lahiriah tetapi juga melalui pertempuran batin yang tidak kelihatan seperti motif pribadi, sikap hati, keegoisan, dan kesombongan. Ekspresi dosa di dalam hidup kita menunjukkan pemisahan antara panggilan kita sebagai pengikut Yesus dan bagaimana kita menjalani hidup. Perbedaan antara apa yang kita tahu benar dan bagaimana kita hidup sehari-hari itulah yang disebut kemunafikan. Sederhananya, kemunafikan adalah kesenjangan antara apa yang kita katakan kita percayai dan bagaimana kita menjalani hidup.
Kita semua mungkin pernah mendengar bagaimana seseorang menanggapi ajakan untuk pergi ke gereja dengan berkata, “Saya tidak mau ke gereja karena terlalu banyak orang munafik di sana.” Respons demikian tidak hanya menolak menghadiri kebaktian di gereja, tetapi juga menolak iman Kristen secara umum. Dan, meski pendapat bahwa orang-orang yang pergi ke gereja adalah orang-orang munafik itu benar, tetapi itu mengabaikan kenyataan bahwa setiap orang sesungguhnya munafik dalam kadar tertentu, terlepas dari apakah ia pergi ke gereja atau tidak. Tidak seorang pun dapat hidup tanpa kontradiksi, dalam kadar tertentu, antara apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan. Ketidakmampuan menjalani kehidupan yang sempurna, menurut Alkitab, menunjukkan sifat alami manusia yang telah jatuh ke dalam dosa dan kebutuhan kita akan Juru Selamat.
Lebih jauh lagi, orang-orang yang menolak iman Kristen karena alasan tersebut biasanya bukan karena ada orang-orang munafik di dalam gereja, tetapi karena mereka sendiri pernah disakiti atau mengetahui seseorang yang pernah disakiti oleh orang lain yang mengaku sebagai bagian dari gereja. Dan, meski secara intelektual diakui bahwa tidak ada manusia yang sempurna, kita tetap tidak suka disakiti oleh ketidaksempurnaan orang lain. Karena itu, ketika seseorang disakiti atau mendengar seseorang disakiti oleh individu atau kelompok yang mengatasnamakan Kristen, mereka cenderung mengasosiasikan orang yang menyakiti dan agama Kristen yang ia wakili sebagai sesuatu yang harus dihindari. Ini adalah fenomena psikologis yang dapat disaksikan dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh, jika seseorang digigit anjing pada waktu ia masih kecil, tidak jarang ia tidak menyukai semua anjing sejak saat itu, meski hanya satu anjing yang menggigitnya. Hal yang sama juga terjadi pada kasus seorang yang disakiti oleh orang lain yang terkait dengan afiliasi sosial atau agama tertentu.
Menurut Clinton dan Jeff Arnold, ketika seseorang pergi ke gereja, ada harapan yang tak terucapkan bahwa ia tidak akan menemukan sesuatu yang tidak ia sukai. Banyak orang menganggap bahwa orang-orang yang mengisi gereja “telah diperbaiki oleh Yesus”. Namun, tidak butuh waktu lama untuk menyadari bahwa mereka yang mengaku Kristen belum selesai diperbaiki, tetapi sedang diperbaiki. Jika seseorang masuk ke rumah sakit, ia tidak akan terkejut melihat banyak orang sakit sedang disembuhkan di sana, karena rumah sakit memang diciptakan untuk menolong orang sakit supaya sembuh. Secara rohani, meski keselamatan terjadi pada satu masa, tetapi itu juga merupakan titik awal; awal dari sebuah proses di mana orang-orang percaya dibentuk menjadi serupa dengan Kristus ketika mereka mengakui Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Karena itu, gereja bukanlah tempat orang-orang yang sempurna, melainkan tempat di mana orang-orang menyadari ketidaksempurnaan mereka dan kebutuhan mereka akan Juru Selamat.
Gandhi terkenal dengan perkataannya, “Saya menyukai Kristus, tetapi saya tidak menyukai orang-orang Kristen. Orang-orang Kristen sangat tidak serupa dengan Kristus.” Meski itu merupakan kritik pedas terhadap gereja di era modern, Gandhi menilai agama Kristen secara keseluruhan karena tindakan segelintir orang yang bertentangan dengan apa yang diperintahkan Alkitab untuk dihidupi oleh orang-orang percaya.
Beberapa contoh dalam sejarah disebutkan oleh orang-orang di luar kekristenan untuk menggambarkan kemunafikan agama Kristen. Tiga di antaranya yang paling sering disebut adalah Perang Salib, di mana ribuan orang dibunuh atas nama Kristus untuk merebut kembali Tanah Suci; Inkuisisi, di mana banyak orang disiksa di tangan gereja; dan Pengadilan penyihir Salem, di mana banyak orang mati karena dituduh menggunakan sihir. Satu kesamaan dari semua kekejaman tersebut adalah itu dilakukan oleh orang-orang yang, meski bertindak atas nama Kristus, bertentangan dengan apa yang Alkitab ajarkan. Adalah kenyataan yang menyedihkan bahwa di sepanjang sejarah orang-orang memakai agama, terutama Kristen, untuk memperoleh kekuasaan, kemakmuran, dan kemuliaan mereka sendiri. Dengan melakukan hal itu, mereka mengkhianati ajaran Yesus dan melawan apa yang dinyatakan oleh iman Kristen. Tidak ada dari Perang Salib, Inkuisisi, atau Pengadilan penyihir Salem yang berkaitan dengan kekristenan kecuali bahwa agama itu dipakai oleh orang-orang tertentu untuk melayani diri sendiri. Peristiwa-peristiwa itu sama sekali tidak berkaitan atau sesuai dengan ajaran Alkitab tentang bagaimana orang percaya harus hidup dan bertindak.
Memang tidak adil, ketika segelintir orang bertindak dengan cara yang bertentangan dengan wahyu Alkitab, itu memengaruhi kesaksian semua orang percaya. Sebagaimana dikatakan oleh Os Guinness, “Kemunafikan merusak karena itu melemahkan kesaksian kita sebelum kita mengucapkan sepatah kata pun. Karena itu, kemunafikan adalah salah satu tuduhan terburuk yang dilontarkan kepada kita sebagai pengikut Yesus, yang kedua setelah penderitaan dan kejahatan.”
Pandangan Yesus tentang kemunafikan disajikan di dalam Matius 23 ketika Ia berbicara dengan para pemimpin agama di zaman-Nya dan menyerukan sejumlah kecaman “celakalah” kepada mereka. Dalam pertemuan itu, Ia memperingatkan orang-orang agar tidak mengikuti teladan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi karena mereka tidak mempraktikkan apa yang mereka ajarkan, tetapi justru meletakkan beban berat di pundak orang-orang, yang tidak mau mereka pikul. Yesus menyebut mereka “orang buta”, “orang bodoh”, orang-orang yang dikatakan “nyamuk kamu saring dari dalam minumanmu” tetapi “unta kamu telan”, dan yang “di sebelah luar tampaknya benar di mata orang”. Yesus mengumumkan bahwa mereka tidak benar seperti anggapan mereka, tetapi hanya tampak bersih dari luar dan sebenarnya penuh dengan keserakahan, pemuasan diri, kemunafikan, dan pelanggaran. Ia mengakhiri kecaman-Nya dengan pertanyaan, “Hai Kamu ular-ular, hai Kamu keturunan ular berbisa! Bagaimana mungkin kamu dapat meluputkan diri dari hukuman neraka?”
Matius 23 mengandung beberapa perkataan Yesus yang paling keras selama pelayanan-Nya tentang kemunafikan. Kerasnya kata-kata Yesus dapat ditemukan dalam dua penggambaran-Nya yang terakhir tentang ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi: ular-ular dan ular berbisa. Dalam pikiran orang Yahudi, kedua kata tersebut akan langsung dikaitkan dengan sang penipu terbesar, yaitu Ular di taman Eden, yang menyesatkan manusia dari Allah. Yesus mengutuk mereka yang seharusnya tahu lebih baik. Sayangnya, kita semua jatuh ke dalam perangkap tidak melakukan apa yang kita tahu benar dan baik: hidup sesuai dengan panggilan Tuhan. Bahkan, Rasul Paulus mengakui bahwa ia berjuang untuk hidup sesuai dengan standar yang ia pahami. Di dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus berkata, “Sebab aku tahu, bahwa di dalam aku, yaitu di dalam aku sebagai manusia, tidak ada sesuatu yang baik. Sebab kehendak memang ada di dalam aku, tetapi bukan hal berbuat apa yang baik. Sebab bukan apa yang aku kehendaki, yaitu yang baik, yang aku perbuat, melainkan apa yang tidak aku kehendaki, yaitu yang jahat, yang aku perbuat.”
Sebagai orang percaya, kita diperintahkan untuk “menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja”. Kita juga dipanggil untuk menjadi saksi Allah bagi dunia sekitar kita, menjadi contoh nyata transformasi rohani yang Ia kerjakan di dalam hidup kita melalui keselamatan. Hanya karena keselamatan yang dianugerahkan kepada kita di dalam Yesus, kita dibenarkan di hadapan Allah, dan terus-menerus dibentuk menjadi makin serupa dengan gambar Kristus. Namun, meski status kita di hadapan Allah telah berubah, kita masih dapat berbuat dosa, tetapi Yohanes memberi kita pengharapan ketika kita berbuat dosa. Ia menulis, “Jika kita mengaku dosa kita, Ia setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” Yohanes melanjutkan dengan mengatakan bahwa kita mempunyai seorang Pengantara di hadapan Bapa, yaitu Yesus Kristus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai pengganti penerima hukuman atas dosa-dosa kita. Panggilan untuk mengakui dosa tidak hanya berlaku bagi orang-orang yang mencari keselamatan, tetapi juga bagi mereka yang telah mengakui Yesus sebagai Juru Selamat dan Tuhan.
Penting untuk diingat bahwa kita yang mengikut Kristus tidak lebih baik daripada orang lain karena keselamatan kita. Kita hanya lebih baik dari sebelumnya karena telah diubahkan dan ditebus. Kita hidup dalam keadaan ketika kita dipanggil untuk memberitakan iman kita kepada dunia sehingga orang lain dapat mengalami realitas yang sama.
Dengan penjelasan di atas, apa yang dapat kita lakukan untuk mengatasi kemunafikan di dalam gereja saat ini? Meski beberapa saran dapat didaftarkan, kami akan membahas tiga saja yang dapat menolong kita merespons orang-orang yang menantang agama kita dengan masalah tersebut.
Pertama, harus diakui bahwa di dalam gereja saat ini terdapat orang-orang percaya yang benar dan yang palsu. Apa artinya ini? Sederhananya, tidak semua orang yang datang ke gereja adalah orang percaya sejati. Di setiap gereja akan ada orang-orang yang hanya mengaku Kristen. Meski beberapa orang mengidentifikasi diri mereka secara religius sebagai orang Kristen, mungkin karena orang tua atau teman mereka beragama Kristen, bukan berarti mereka adalah pengikut Yesus yang sejati. Artinya, mereka belum sampai pada titik di mana mereka mengakui kematian dan kebangkitan Yesus sebagai satu-satunya harapan agar dosa-dosa mereka diampuni dan menerima kehidupan kekal. Hidup mereka masih melayani keinginan mereka sendiri, tidak tunduk kepada kehendak Tuhan.
Tantangannya adalah, kita tidak dapat membedakan antara orang percaya yang benar dan yang palsu secara umum. Ada orang percaya palsu di dalam gereja yang bertindak seperti orang percaya sejati dan ada orang percaya sejati di dalam gereja yang bertindak seperti orang percaya palsu. Rasul Paulus memberikan beberapa contoh tentang hal ini di dalam suratnya kepada jemaat di Korintus.
Di dalam tulisan yang dianggap surat terakhir Paulus selama hidupnya, 2 Timotius, ia memperingatkan bahwa pada hari-hari terakhir akan ada orang-orang yang penampilannya saja saleh tetapi tidak pernah mengalami transformasi rohani yang mendalam. Sepertinya kita melihat dan mengalami makin banyak lagi kenyataan yang telah dinubuatkan Paulus di dunia saat ini. Karena itu, adalah kewajiban orang percaya yang sejati menghidupi iman mereka di tengah dunia melalui cara berpikir, bertindak, dan berkomunikasi dengan orang lain. Yesus berkata bahwa dunia akan mengenal murid-murid-Nya, yaitu para pengikut-Nya, melalui kasih yang mereka tunjukkan satu sama lain. Bagaimana orang Kristen memperlakukan orang-orang di dalam dan di luar gereja menunjukkan dengan jelas iman yang mereka miliki.
Kedua, perlu disadari bahwa salah satu penyebab terbesar kemunafikan di dalam gereja adalah orang-orang yang hidup menurut agenda pribadi, bukan agenda Allah. Orang Kristen dipanggil untuk menjadi duta Allah bagi dunia sekitar mereka dan, dengan demikian, hidup sesuai dengan kehendak-Nya, bukan kehendak sendiri. Ketika mengajar murid-murid-Nya, Yesus berkata bahwa menjadi pengikut-Nya berarti memikul salib, menyangkal diri, dan mengikuti teladan-Nya.
Di dalam suratnya kepada jemaat di Filipi, Paulus menulis bahwa ia telah menyerahkan segala sesuatu bagi Kristus; apa pun yang dahulu bernilai baginya, sekarang ia anggap tidak berharga (secara harfiah berarti kotoran) dibandingkan dengan pengenalan akan Kristus dan keselamatan yang Ia tawarkan. Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa kerinduan terbesarnya adalah mengenal Kristus dan kuasa kebangkitan-Nya, mengambil bagian dalam penderitaan-Nya, dan menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya. Makin banyak orang yang mengaku milik Yesus berusaha mengenal Dia, makin kecil kemungkinan mereka menjalani kehidupan yang bertentangan dengan apa yang Ia ajarkan. Mengenal dan meneladani Yesus seharusnya menjadi tujuan setiap orang percaya.
Ketiga, orang-orang percaya perlu memahami bahwa mereka dipanggil untuk menanggalkan dosa dan hidup dengan pikiran yang tertuju pada realitas yang lebih besar. Di dalam Kolose 3:1-2, Paulus menantang orang-orang percaya bahwa jika mereka telah dibangkitkan bersama Kristus (cara lain untuk menggambarkan keselamatan), mereka harus mengarahkan pikiran mereka kepada hal-hal yang di atas, bukan hal-hal yang di bumi. Bukan berarti orang-orang percaya harus mengabaikan hal-hal baik yang Allah ciptakan, tetapi mereka harus menjalani hidup dengan pemahaman bahwa mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada apa yang mereka lihat di sekitar mereka. Gereja dipanggil untuk sebuah tujuan besar yang menjangkau kekekalan.
Perikop ini berlanjut dengan menyebutkan beberapa praktik yang harus “dimatikan” oleh orang Kristen, seperti percabulan, keinginan jahat, ketamakan, penyembahan berhala, kemarahan, dusta, dan kata-kata kotor. Perbuatan-perbuatan tersebut mewakili perbuatan-perbuatan daging sebagaimana dicatat oleh Paulus di dalam suratnya kepada jemaat di Galatia. Sebaliknya, orang percaya harus menghasilkan buah Roh di dalam hidupnya: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri.
Terakhir, Paulus memerintahkan para pembacanya untuk “Kenakanlah kasih, sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Hendaklah damai sejahtera Kristus memerintah dalam hatimu, karena untuk itulah kamu telah dipanggil dalam satu tubuh. Dan bersyukurlah.” Ketika ciri-ciri tersebut diterapkan di dalam kehidupan orang percaya, tuduhan kemunafikan akan sangat berkurang.
Terlepas dari sebaik apa pun kita berusaha menjalani hidup, Yesus mengingatkan kita bahwa dunia akan membenci para pengikut-Nya. Sebagai gereja, kita dipanggil untuk setia dalam melayani Allah, menjadi saksi-Nya, hidup saleh, dan menunjukkan kebaikan, kasih, dan belas kasihan kepada orang-orang di sekitar kita. Ketika kita gagal memenuhi harapan tersebut, kita menunjukkan kesaksian yang negatif bagi gereja secara keseluruhan. Meski demikian, selalu ada janji pengampunan dan pemulihan. Kita harus ingat bahwa kita semua adalah pekerjaan yang masih dalam proses dan kita harus saling menguatkan, berdoa, dan meminta pertanggungjawaban satu sama lain sesuai dengan standar Alkitab. Dengan demikian, kita akan menjadi orang-orang yang menyebarkan lebih banyak terang daripada panas..