Pelajaran 9, Kegiatan 2
Sedang berlangsung

Kuliah

Pelajaran Progress
0% Menyelesaikan
00:00 /

Dalam pelajaran ini, kami memperkenalkan literatur kebijaksanaan Perjanjian Lama. Ketika kita menyebut kitab-kitab ini sebagai kitab-kitab hikmat, penting untuk memahami bahwa seluruh Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengandung hikmat. Dari Kejadian sampai Maleakhi dan dari Matius ke Wahyu, para penulis mengajarkan kepada kita bahwa takut akan Tuhan adalah permulaan dari hikmat. Akan tetapi, kitab Ayub, Amsal, dan Pengkhotbah Perjanjian Lama sangat memusatkan perhatian pada kebijaksanaan sehingga kita benar-benar menyebutnya “literatur hikmat.” Orang-orang bijak Perjanjian Lama memiliki sebuah realitas yang sangat spesifik dalam pikiran ketika mereka berbicara tentang kebijaksanaan, dan jika kita melewatkan realitas tersebut, maka kita akan kehilangan banyak hal dari arahan mereka yang sangat berharga.

Ide Ibrani tentang Hikmat

Kata yang diterjemahkan sebagai hikmat dalam Alkitab adalah kata Ibrani chokmâh. Kata itu digunakan di seluruh Perjanjian Lama untuk berbicara tentang orang-orang yang melakukan banyak hal dengan keterampilan. Ini menggambarkan pekerjaan daro orang-orang yang menyulam pakaian imam kembali dalam kitab Keluaran. Pakaian ini harus indah karena mencerminkan natur Allah dan pekerjaan-Nya. Jadi, Allah menyuruh Musa untuk memilih orang-orang yang melakukan sulaman dengan châkam. Mereka disulam dengan keterampilan yang hebat. Orang lain yang membuat sulaman akan melihat pakaian imam dan berkata, “Nah, begitulah sulaman itu. Saya menyulam tetapi tidak seperti itu. Itu menunjukkan sebuah tingkat keterampilan yang hanya bisa saya bayangkan untuk miliki.” Para tukang kayu yang terampil dan orangtua serta pemimpin dikatakan melakukan pekerjaan mereka dengan châkam.

Dalam kitab Amsal, kita melihat kata hikmat berulang kali. Kata ini digunakan untuk menggambarkan bagaimana orang melakukan banyak fungsi kehidupan dengan keterampilan. Akan tetapi, ketika amsal-amsal ini menyebut seseorang sebagai orang bijak, mereka menggambarkan seseorang yang menjalani seluruh hidupnya dengan châkam. Sama seperti seseorang akan melihat jubah imam dan berkata, “Nah, itulah yang harus dilakukan,” sehingga orang-orang yang melihat kehidupan manusia yang hidup dengan kebijaksanaan akan berkata, “Begitulah seharusnya hidup dijalani.” Karena orang itu menjalani hidupnya dengan chokmâh, dia dikenal sebagai seorang bijak. Orang bijak belajar untuk hidup dengan terampil seperti yang Allah maksudkan untuk kita jalani.

Dalam Perjanjian Lama, sebuah kehidupan yang bijak membutuhkan komitmen terhadap Hukum Allah. Jadi ketika Anda membaca tentang hikmat dalam kitab Amsal dan Pengkhotbah dan Ayub, mereka merujuk pada orang-orang yang telah dengan terampil menerapkan pengajaran-pengajaran Allah dalam kehidupan mereka. Itulah sebabnya Amsal 1:7 dan 9:10 mengklaim, “Takut akan TUHAN adalah permulaan hikmat dan pengetahuan.” Hanya ketika kita melihat Allah sebagaimana adanya Dia dan hidup seperti yang Dia kehendaki, kita memiliki pengharapan untuk menghidupi sebuah kehidupan yang bijak.

Amsal

Kitab Amsal terutama sebuah kumpulan perkataan-perkataaan bijak. Salomo menulis banyak dari mereka, tetapi ada juga koleksi amsal dari orang bijak lainnya. Itulah sebabnya Anda akan melihat pernyataan-pernyataan dalam kitab Amsal yang memperkenalkan orang lain yang menulis atau mengumpulkan beberapa perkataan bijak ini. Terlepas dari siapa yang menulis atau mengumpulkannya, kita percaya bahwa itu adalah kata-kata yang berotoritas karena Allah mengilhami semua Kitab Suci. Kita menghargai pengamatan-pengamatan tajam dari para orang bijak tentang kehidupan dan amsal-amsal yang mereka susun secara indah, tetapi kita tidak akan pernah lupa bahwa kebijaksanaan yang dikandungnya berasal dari sebuah sumber yang jauh lebih bijaksana.

Amsal 1:1-7 memperkenalkan tujuan dari koleksi-koleksi dari amsal-amsal ini. Salomo menggunakan serangkaian infinitif untuk menyatakan alasan mengapa pernyataan-pernyataan amsal ini dikumpulkan bersama. Daftar itu termasuk: “Untuk mengetahui hikmat dan didikan, untuk mengerti kata-kata yang bermakna, untuk menerima didikan yang menjadikan pandai, serta kebenaran, keadilan dan kejujuran, untuk memberikan kecerdasan . . . untuk mengerti amsal dan ibarat, perkataan dan teka-teki orang bijak.”

Daftar ini mencakup dua alasan untuk mengumpulkan amsal-amsal ini menjadi sebuah kitab. Salah satunya adalah untuk memberikan sebuah katalog dari ucapan-ucapan bijak untuk membimbing kita dalam kehidupan. Namun kedua, amsal berfungsi seperti gimnasium mental. Istilah “tahu,” “membedakan,” “menerima,” “memberi kecerdasan,” dan “mengerti” adalah kata-kata tindakan. Jika kita ingin memahami “kebijaksanaan,” “instruksi,” “kata-kata yang bermakna,” “amsal, dan” teka-teki bijak,” kita harus mengembangkan keterampilan mental. Kata amsal juga diterjemahkan “ejekan” dan “perumpamaan.” Gagasan tentang ejekan (Yesaya 14:4) adalah bahwa ia memperluas proses berpikir pembaca dengan cara yang menggoda atau menantang. Literatur ini melatih pemikiran dan dirancang untuk membangun keterampilan dan kekuatan mental.

Menulis sebuah amsal menuntut dua keterampilan. Pertama, orang bijak melakukan sebuah pengamatan yang tajam terhadap kehidupan. Ketika mereka mengamati, mereka membentuk gagasan-gagasan tentang apa yang mereka lihat. Kemudian mereka dengan terampil membuat pengamatan itu menjadi sebuah amsal. Karena para penulis ingin agar pembacanya mengembangkan keterampilan-keterampilan mental mereka, jarang amsal-amsal dapat dimengerti dengan mudah. Jadi jika Anda membaca sebuah amsa dan itu tidak dapat Anda pahami secara benar, memang begitulah desainnya. Seorang pembaca yang malas akan kehilangan manfaat dari banyaknya amsal yang ada, tetapi pembaca yang terampil akan belajar bagaimana menjalani sebuah khidupan yang lebih terampil.

Kitab itu bernama Amsal(-Amsal), bukan Janji-Janji. Misalnya, Amsal 22:6, “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” adalah sebuah amsal. Itu bukan sebuah janji. Amsal adalah pengamatan bijak tentang bagaimana kehidupan bekerja. Amsal 22:6 mengajarkan bahwa kita meningkatkan kemungkinan anak tidak akan menyimpang dari jalan Allah, jika kita membesarkan anak dengan cara itu. Akan tetapi sebuah amsal tidaklah menjamin hasilnya pasti demikian; tidak membuat janji. Allah memberi kita kebebasan untuk memilih, dan hidup tidak selalu dapat diprediksi dan dikendalikan. Akan tetapi kita dapat meningkatkan kemungkinan suatu hal dapat terjadi, dan amsal-amsal ini mengajarkan kita untuk hidup sedemikian rupa sehingga kita meningkatkan kemungkinan mendapatkan apa yang kita inginkan dari kehidupan.

Kitab Amsal berisi dua bagian. Pasal 1-9 memperkenalkan pernyataan-pernyataan amsal.

Kemudian amsal yang sebenarnya dimulai pada pasal 10 dan berlanjut ke pasal 31. Seluruh kitab ditulis dalam puisi dan merupakan literatur hikmat, tetapi kumpulan-kumpulan pernyataan amsal baru dimulai di pasal 10.

Pengkhotbah

Pengkhotbah adalah kitab lain yang membutuhkan keterlibatan penuh mental kita; dan beberapa pembaca bertanya-tanya apa yang dilakukan penulis dalam kitab ini. Kitab ini menggambarkan betapa sulitnya hidup dan membuat hidup tampak begitu tanpa harapan dan tidak berarti. Temanya diperkenalkan dalam Pengkhotbah 1:2, “Kesia-siaan dari kesia-siaan, semuanya sia-sia” (NASB). Atau, ketika New International Version menerjemahkannya, “’Tak berarti! Tidak ada artinya!’ Kata sang Pengkhotbah. ‘Sama sekali tidak berarti! Semuanya tidak berarti.’” Hidup seperti teknologi modern. Segera setelah Anda mengetahuinya, ia berubah. Anda telah membuat segala sesuatunya bergerak ke arah yang benar, lalu hidup membuat sebuah perubahan arah.

Pengkhotbah penuh dengan belokan dan arah berputar, jalan buntu dan kontradiksi. Anda membaca sebuah pernyataan yang mengatakan satu hal, dan pernyataan berikutnya mengatakan sebaliknya. Ini sebuah kitab yang meresahkan. Telah disarankan bahwa penulis dengan cerdik merancang buku sehingga dibaca seperti kehidupan dijalani. Jalan-jalan buntu dan kontradiksi-kontradiksi dalam kitab ini merupakan cerminan dari hal-hal tersebut dalam hidup.

Pikirkan tentang garis besar Pengkhotbah. Bagian pertama dalam 1:1-11:6 mengatakan hidup tidak bisa dipahami. Kita tidak akan pernah bisa memikirkan semuanya. Jadi, kita harus belajar hidup bahagia di dunia yang tidak akan pernah kita pahami sepenuhnya. Bagian kedua dari kitab ini (11:7-12:8) mengatakan kita tidak akan pernah mengendalikan kehidupan ini. Hal itu tidak di bawah kendali kitab. Jadi, kita harus belajar hidup bahagia di dunia yang tidak bisa kita kendalikan.

Ini adalah sebuah teka-teki yang melibatkan pemikiran yang terampil. Pengkhotbah mengajarkan kita bahwa kita tidak dapat memahami atau mengendalikan kehidupan. Akan tetapi, kita baru saja membaca bahwa Amsal mengatakan bahwa kita memiliki beberapa kendali. Kita dapat memahami kehidupan secara cukup untuk hidup dengan bijak. Amsal menyajikan sebuah pendekatan “jika/maka” untuk kehidupan dan Pengkhotbah menyajikan sebuah pendekatan “jika/siapa yang tahu.”

Jadi, kitab mana yang harus kita percayai? Kita harus percaya keduanya. Jika kita membaca Amsal dan Pengkhotbah sebagai dua ujung spektrum, kita memiliki sebuah pemahaman yang lebih luas tentang seperti apakah kehidupan itu. Orang bijak berkata, “Saya harus menjalani hidup saya seperti yang Allah ajarkan karena itu akan meningkatkan kemungkinan bahwa saya akan menjalani sebuah kehidupan yang baik.” Akan tetapi, orang bijak juga menyadari ada aspek kehidupan yang mungkin tidak dapat kita pahami; dan kita mengakui bahwa kita tidak memiliki kendali mutlak atas kehidupan kita sendiri dan bahkan kendali yang lebih kecil terhadap kehidupan orang lain. Hal-hal terjadi di luar apa yang bisa kita pahami atau kendalikan atau perbaiki.

Ayub

Ayub adalah kitab kebijaksanaan ketiga; dan kitab itu bergulat dengan pertanyaan mengapa orang yang baik dan saleh menderita. Kitab itu dibuka dengan memperkenalkan Ayub sebagai manusia yang begitu saleh sehingga Setan menantang Allah untuk menguji Ayub untuk melihat apakah imannya murni. Allah mengizinkan Setan untuk melepaskan Ayub dari semua yang dimilikinya — termasuk keluarganya dan kesehatannya — untuk melihat apakah Ayub akan meninggalkan komitmennya kepada Allah.

Teman-teman Ayub datang untuk menghibur dan menasihatinya. Mereka memiliki niat baik, tetapi mereka adalah para penasihat yang sesat. Mereka yakin bahwa Ayub menderita karena dia berdosa.

Ketika Anda membaca tiga dialog antara Ayub dan teman-temannya, ketegangan meningkat. Para penasihatnya berusaha meyakinkan Ayub untuk mengakui dosanya, dan Ayub terus membela dirinya yang tidak bersalah. Karena penulis Ayub memberi tahu kita apa yang sedang terjadi di pasal pertama, kita tahu mengapa Ayub menderita. Akan tetapi Ayub dan teman-temannya memandang kehidupan sebagaimana adanya kehidupan itu berproses. Mereka dibiarkan mencari tahu mengapa Ayub menderita. Jika kita membaca kitab ini dari sudut pandang mereka, kita bisa mengerti mengapa perdebatan menjadi begitu panas.

Pasal terakhir dari kitab ini (38-42) dikhususkan untuk dialog antara Allah dan Ayub. Allah berkata kepada Ayub bahwa dia tidak menderita karena dia jahat, tetapi untuk sebuah tujuan yang jauh lebih tinggi. Kebenaran Ayub dan imannya kepada Allah diuji dengan sungguh-sungguh dan terbukti murni.

Sebagian besar dari kita pada suatu waktu dalam hidup berpikir bahwa kita menderita karena kita menyakiti hati Allah. Atau bahkan lebih buruk, kita menarik kesimpulan tentang orang lain. Perdebatan Ayub dengan para penasihatnya harus mengajari kita bahwa ketika kita menghadapi penderitaan, kita tidak perlu membatasi penjelasan kita bahwa sumbernya adalah kejahatan dari kehidupan penderita. Ayub bergumul dengan imannya dan kebaikan Allah dan dia mengeluh dengan pahitnya kepada Allah. Akan tetapi, kemudian Dia mendengarkan nasihat Allah dan memulihkan imannya kepada Allahnya yang baik.

Kesimpulan

Mengembangkan keterampilan membutuhkan waktu dan usaha. Tukang kayu, musisi, cendekiawan, atau orangtua yang terampil mengembangkan keterampilan itu. Literatur hikmat Perjanjian Lama memberi tahu kita bahwa keterampilan yang diperlukan untuk menjalani sebuah kehidupan yang bijaksana dimulai dengan penghormatan kita kepada Allah. Kita akan cenderung menavigasi jalan kehidupan yang tidak diketahui dan tak terkendali dengan baik ketika kita mengembangkan keterampilan mempercayai Tuhan dan membaca peta yang telah Dia sediakan dalam Kitab Suci-Nya.