Kuliah
Selama tahun 1970-an sebuah bangunan gereja Protestan di Palos Heights, Illinois dijual, dan sekelompok Muslim mengajukan sebuah penawaran untuk membelinya. Warga kota sangat kesal sehingga dewan kota mengeluarkan sebuah proposal untuk memberikan 100.000 dolar jika mereka menarik penawaran mereka. Namun, walikota tidak setuju dengan suara dewan. Dia melarang keputusan tersebut dan kalah telak dalam pemilihan berikutnya. Namun, beberapa tahun kemudian, ia menerima Penghargaan John F. Kennedy karena keberaniannya dalam bidang politik.
Walikota itu benar. Apakah kita setuju dengan keyakinan agama tetangga kita atau tidak, bukanlah itu permasalahannya. Orang-orang Muslim tersebut ada dalam hak sipil mereka untuk membeli gedung gereja itu. Perlindungan hukum yang menaungi orang Muslim juga berlaku untuk umat Hindu, Budha, Jain, dan sistem keagamaan lain yang kurang dikenal (masing-masing dengan beberapa variasinya). Mereka memiliki hak untuk berkompetisi dalam hal pekerjaan dan peluang bisnis. Anak-anak mereka duduk bersama dengan anak-anak kita di sekolah.
Dalam bukunya Encountering Religious Pluralism, Harold Netland memberi tahu kita bahwa pada tahun 1998, profesor di Harvard, Diana Eck, memperkirakan bahwa populasi Amerika Serikat terdiri dari 5,9 juta orang Yahudi, 5,5 juta orang Muslim, 1,3 juta umat Hindu, 600 ribu umat Buddha, dan kelompok Jain yang cukup besar, penganut Wicca , dan sistem kepercayaan lainnya.
Masjid-masjid Muslim, kuil-kuil Yahudi, Hindu, Jain, Zoroaster, dan Bahai, dan pusat-pusat ibadah untuk setidaknya 23 kelompok non-Kristen lainnya menghiasi bentang darat setiap kota besar di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Sekitar 40 persen dari mereka yang berimigrasi ke negara-negara Barat berasal dari Timur, dan tren ini kemungkinan akan berlanjut (hal. 9-10).
Sebagian besar imigran dari Timur ini berasal dari budaya-budaya nasional mereka yang menghargai keramahtamahan dan nilai kekeluargaan. Mereka biasanya menghargai kebebasan yang diberikan masyarakat Barat yang demokratis kepada mereka. Mereka pindah ke komunitas kami, senang berada di sini dan berharap kami akan menyambut mereka ke dalam lingkungan dan kehidupan kami.
Ketika negara-negara di seluruh dunia membuka pintu mereka pada berbagai kelompok etnis, salah satu tantangan pertamanya adalah memperlakukan satu sama lain dengan cara yang kita ingin untuk diperlakukan. Kita harus belajar untuk saling menghormati dan peduli satu sama lain walaupun ada keyakinan spiritual dan agama yang sangat berbeda.
Enam Prinsip dalam Berelasi
Keinginan kami untuk menjadi tetangga yang baik dengan orang-orang dari latar belakang budaya dan agama lain membuat kami mempertimbangkan setidaknya enam prinsip dalam berelasi:
Prinsip pertama: Jadilah Autentik
Pertama-tama kita perlu melakukan apa saja untuk menjalin persahabatan sejati dengan anggota komunitas kita ini. Sebagai tetangga kita, mereka adalah orang-orang yang akan membutuhkan keramahtamahan dan pertolongan kita, dan mungkin akan senang melakukan hal yang sama untuk kita semampu mereka.
Dengan tindakan seperti itu terhadap tetangga yang berbeda agama, tujuan kita seharusnya menunjukkan kepedulian yang tulus terhadap kesejahteraan mereka. Persahabatan kita tidak boleh bergantung pada penerimaan mereka terhadap kepercayaan spiritual kita sendiri. Kita harus baik dan sabar terhadap mereka sama seperti Allah telah baik dan sabar terhadap kita.
Ketika Yesus berkata untuk “kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat. 22:39), Dia tidak hanya menyebut sesama yang memiliki iman yang sama. Dia juga tidak berasumsi bahwa umat-Nya akan selalu menjadi contoh terbaik dari tetangga yang baik. Pada satu titik, Dia menceritakan kisah tentang seorang Samaria yang baik hati, yang adalah seorang lelaki dari budaya dan iman yang berbeda, menunjukkan apa artinya menjadi tulus dalam kasih terhadap sesama (Luk. 10:27-37).
Prinsip kedua: Bersikaplah Hormat
Ketika kita belajar apa artinya mengasihi sesama kita, kita juga akan belajar untuk menghormati mereka sebagai orang-orang dari adat dan agama yang berbeda-beda. Meskipun kepercayaan mereka berbeda dengan keyakinan kita, kita dapat mengundang mereka untuk memberi tahu kita akan apa yang mereka yakini dan mendengarkannya dengan penuh hormat. Meskipun beberapa kepercayaan dan praktik mereka mungkin tampak aneh bagi kita, kita perlu mengingat bahwa itu rasional dan penting bagi mereka. Sebaliknya, mereka juga akan pasti menemukan beberapa kepercayaan dan praktik kita aneh ketika mereka pertama kali menjumpainya.
Kita akan menemukan bahwa meskipun mereka percaya pada tuhan yang tidak pernah kita terima, mereka seperti kita. Beberapa mengetahui apa yang mereka yakini, sementara yang lain berstatuskan agama saja. Beberapa memiliki komitmen kuat pada keyakinan mereka dan akan melakukan apa saja untuk mengubah orang lain kepada kepercayaan mereka. Mayoritas, bagaimanapun, hanya tertarik untuk dapat menikmati kebebasan hidup dan beragama di sebuah tanah yang telah menulis jaminan-jaminan sipil tersebut ke dalam konstitusi mereka. Mereka layak dihormati sama seperti kita.
Prinsip ketiga: Bersikaplah Rendah Hati.
Saat kita saling menghormati satu sama lain, kita akan belajar lebih dari perbandingan budaya dan juga agama. Kita juga akan belajar kerendahan hati. Ketika kita mengetahui betapa sedikit yang kita ketahui tentang kebiasaan-kebiasaan sosial dan kepercayaan-kepercayaan yang membentuk kehidupan orang lain, hal itu akan membuat kita menjadi rendah hati.
Agama-agama Timur jauh lebih rumit daripada apa yang kebanyakan kita sadari.
Seperti banyak denominasi dan sekte Barat, agama seperti Islam, Hindu, dan Budha dibagi menjadi banyak kelompok yang secara signifikan berbeda satu sama lain.
Sarjana Kristen Harold Netland mengatakan bahwa untuk benar-benar memahami agama-agama non-Kristen akan “memerlukan studi empiris yang cermat tentang shamanisme, animisme, dan politeisme dalam tradisi lokal; . . . belajar tentang beragam praktik keagamaan rakyat yang tak ada habisnya.”
Netland selanjutnya mengatakan bahwa jika kita ingin memahami agama-agama ini kita harus “peka terhadap keragaman luar biasa dalam agama-agama tertentu sehingga, misalnya, kita tidak hanya mengidentifikasi Hindu dengan monisme filosofis Advaita Vedanta tetapi mengakui banyak teistik, serta politeisme dan bahkan ateistik, tradisi Hindu.”
Netland juga menunjukkan bahwa ada “keragaman yang sangat besar di dalam Buddhisme, mulai dari bentuk Buddhisme Theravada yang jelas-jelas nonteistik hingga bentuk-bentuk yang lebih teistik dari Buddhisme Tanah Murni, serta aliran animisme dari Buddhisme rakyat” (Encountering Religious Pluralism, 325- 326).
Tidak bisa dipungkiri, melihat betapa sedikitnya yang kita ketahui tentang agama-agama Timur akan mendorong kita untuk menjadi pendengar yang baik dan membuat kita tidak berusaha menampilkan “pengetahuan” kita.
Prinsip keempat: Bersikaplah Adil
Karena kita hidup dalam sebuah masyarakat yang bebas, kita mungkin tergoda untuk mengarahkan perhatian kita kepada intoleransi agama yang menandai beberapa tanah air leluhur dari tetangga kita.
Namun, mengangkat sebuah perkara seperti itu adalah tidak bijaksana dan adil. Sejarah Yahudi-Kristen juga telah dinodai oleh intoleransi. Pertimbangkan Perang Salib Kristen dan pengadilan penyihir Salem. Ingat juga kisah Perjanjian Lama tentang Yosua, yang diberi tahu Allah untuk pergi ke Tanah Perjanjian dan membunuh tidak hanya melawan tentara tetapi juga pria, wanita, dan anak-anak.
Yesus mengajar para pengikut-Nya untuk berfokus pertama pada kegagalan mereka sendiri sebelum mengritik orang lain (Mat. 7:1-5). Ini tidak berarti kita harus menutup mata kita pada fakta sejarah agama. Itu artinya kita harus adil. Jika kita memerhatikan intoleransi agama lain, kita harus memerhatikan sejarah kita sendiri.
Dalam mempertimbangkan iman kita sendiri, kita percaya catatan sejarah harus dimengerti dalam konteks. Kita percaya bahwa Allah memiliki tujuan-Nya dalam menuntut hukuman ekstrem seperti pada zaman Musa dan Yosua.
Sama seperti kita percaya kita memiliki penjelasan untuk intoleransi dan hukuman yang ditetapkan oleh Allah, kita perlu menyadari bahwa orang-orang dari agama lain juga akan percaya ada cara untuk menjelaskan sejarah agama mereka sendiri.
Prinsip kelimat: Jadilah Arif
Meskipun kita harus adil, kita juga harus cerdas. Kita dapat mengakui kesamaan di antara agama-agama, tetapi kita tidak boleh mengabaikan perbedaan-perbedaan yang ada di antara kita.
Terdapat perbedaan-perbedaan—dan itu penting. Kita perlu berpikir hati-hati mengenai pemikiran populer bahwa satu-satunya ujian ketepatan dari sebuah agama adalah apakah agama itu membantu Anda atau tidak. Pandangan ini diungkapkan oleh beberapa gerakan spiritual modern yang tidak mengakui keberadaan Allah yang personal atau tidak percaya bahwa Ia telah mengungkapkan diri-Nya melalui Kitab Suci yang kudus.
Jenis toleransi ini, bagaimanapun, lebih luas daripada satu kelompok mana pun. Semakin banyak orang yang menganggap diri mereka sebagai Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, Baha’i, dan Muslim berbicara tentang perlunya bersikap terbuka terhadap agama lain. Dalam banyak kasus, mereka tidak hanya berbicara tentang perlunya menghormati hak-hak orang untuk percaya secara berbeda. Banyak yang telah menyimpulkan bahwa semua agama menunjuk pada Realitas Tertinggi yang sama. Mereka percaya bahwa Allah terlalu agung dan baik untuk menolak siapa pun hanya karena ia dilahirkan dalam agama yang salah.
Dalai Lama mewakili pandangan ini: “Semua orang merasa bahwa bentuk praktik keagamaannya adalah yang terbaik. Saya sendiri merasa bahwa agama Buddha adalah yang terbaik untuk saya. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa agama Buddha adalah yang terbaik untuk semua orang” (Encountering Religious Pluralism, 216-217).
Kita menghabiskan hidup kita mencoba untuk memahami apakah pengiklan, penyiar berita, atau anggota keluarga mengatakan kepada kita yang sebenarnya. Dalam hal agama juga, kita perlu bertanya, “Apa itu kebenaran?”
Prinsip keenam: Berhati-hatilah
Meskipun sebuah diskusi yang jujur akan menyingkapkan perbedaan-perbedaan serius yang ada dalam keyakinan kita, kita harus menghadapi perbedaan-perbedaan ini dengan kerendahan hati, kesopanan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip ini tidak akan membantu kita menghindari perbedaan-perbedaan yang ada. Akan tetapi, prinsip-prinsip ini akan membantu menghindarkan kita dari tindakan saling menyakiti satu sama lain yang tidak perlu dalam proses yang ada.
Alkitab menganjurkan orang Kristen untuk menghindari pertengkaran yang tidak perlu (2Tim. 2:24-26). Ciri khas dari sifat marah adalah membuat orang terpisah. Itulah salah satu alasan Perjanjian Baru meminta pengikut Kristus untuk berbicara kebenaran dalam kasih (Ef. 4:15). Menurut Alkitab, sikap yang lemah lembut tetapi persuasif mencerminkan Roh Allah, yang memengaruhi tetapi tidak pernah memaksa. Keluwesan menjadi sebuah faktor penting bagi mereka yang ingin berbagi rasa saling menghormati dengan tetangga yang memiliki kepercayaan religius lain.
Kerendahan hati, kesopanan, dan kebijaksanaan yang sama juga sangat penting ketika seseorang bertanya kepada kita apa yang kita yakini tentang takdir kekal dari orang yang mati dalam iman selain kita. Sebagai contoh, pengikut Kristus percaya kepada-Nya ketika Dia berkata, “Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6).
Kutipan seperti itu konsisten dengan klaim Perjanjian Baru bahwa tidak ada seorang pun selain Yesus yang telah mati sebagai korban pendamaian untuk dosa-dosa kita dan bangkit dari kematian untuk membuktikannya. Akan tetapi bahkan dengan keyakinan seperti itu, kita harus berhati-hati untuk tidak menyalahkan orang lain.
Bahkan Yesus berkata, “Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:17). Penghakiman akan terjadi. Akan tetapi itu akan menjadi hak istimewa Allah, bukan kita.
Mengenai hak Allah untuk menghakimi, Daniel Clendenin menulis: “Orang-orang Kristen dapat benar-benar meyakini akan karakter Allah ketika kita berurusan dengan masalah agama. Sementara menyangkal bahwa semua agama sama-sama valid atau bahwa semua orang akan diselamatkan, di mana kami tetap sangat yakin bahwa Allah akan memperlakukan setiap orang dengan kasih dan keadilan yang sempurna. . . . Bagi orang Kristen, tidak terpikirkan bahwa Allah akan memperlakukan siapa pun dari waktu, tempat, atau agama apa pun secara tidak adil” (Encountering Religious Pluralism, 315).
Sebagai kesimpulan, untuk hidup damai dengan tetangga dari keyakinan agama yang berbeda, kita perlu berkomitmen untuk menjadi tulus, penuh hormat, rendah hati, adil, arif, dan berhati-hati. Ini semua akan membantu kita menciptakan atmosfer rasa hormat kepada orang-orang ketika mereka berinteraksi dengan Roh Allah yang memanggil semua orang kepada diri-Nya sendiri.
Ini adalah sikap yang kita butuhkan bahkan jika tetangga kita memilih untuk menolak agama karena sebuah pendekatan yang lebih sekuler dan ilmiah.