Pelajaran 2, Kegiatan 2
Sedang berlangsung

Kuliah

Pelajaran Progress
0% Menyelesaikan
00:00 /

I. Pengantar Perkembangan Agama

Dalam pelajaran kedua, kita akan beralih dari perkembangan sejarah dan politik yang menjadi kondisi latar penulisan Perjanjian Baru kepada perkembangan agama yang lebih nyata, sembari menyadari bahwa dunia kuno tidak mengenal pemisahan antara gereja dan negara, seperti yang terjadi di beberapa negara modern, jadi pemisahan itu merupakan buatan manusia. Namun, pertanyaan yang menarik dan penting adalah, “Jika saya hidup di suatu tempat di Timur Tengah pada masa kelahiran Yesus, agama apa saja yang bisa saya pilih?” Bagaimana hal itu menarik bagi kelompok tertentu dan tidak bagi kelompok lainnya? Bagaimana ajaran Yesus dan kekristenan, yang berkembang setelah kehidupan dan kematian-Nya, berhubungan dengan berbagai pilihan agama dan keragaman di dunia abad pertama?

II. Agama Yunani-Romawi

Pemikiran kita dapat dibagi ke dalam dua judul besar: pertama, Kekaisaran Yunani-Romawi yang besar, di mana Israel berada; dan kedua, pilihan-pilihan spesifik bangsa Yahudi, khususnya mereka yang tinggal di Israel. Abad pertama digambarkan oleh banyak sejarawan sebagai masa krisis hati nurani bagi banyak orang dan pemikir Yunani-Romawi konvensional. Bentuk agama Yunani-Romawi yang paling terkenal, kepercayaan terhadap mitos-mitos kuno, makin ditinggalkan dan digantikan oleh alternatif lain.

A. Mitologi

Tak diragukan, ada banyak orang yang sampai tingkat tertentu masih percaya kepada mitos-mitos berabad-abad yang lampau. Awalnya, mitologi memiliki daya tarik sebagai semacam pengganti ilmu pengetahuan primitif. Apollo adalah dewa matahari yang mengendarai kereta berapi melintasi langit setiap hari, dan itu menjelaskan pergerakan matahari yang dilihat manusia di bumi. Bakhus, dewa anggur; Artemis, dewi cinta; Merkurius, dewa pembawa pesan, dan banyak dewa lain yang terkenal di kalangan pelajar mitologi Yunani-Romawi kuno, yang mana mencoba menjelaskan kejadian alam tertentu atau contoh perilaku manusia, kenikmatan nafsu, kebajikan atau keburukan. Masalahnya, pada abad pertama kaisar-kaisar manusia telah melampui banyak pekerjaan dewa dan mitos-mitos kuno, sejak zaman Aleksander Agung dan seterusnya. Kaisar-kaisar itu menaklukkan wilayah yang lebih luas daripada yang dikuasai para dewa Yunani dan Romawi. Ilmu pengetahuan, meski masih primitif menurut standar modern, telah berhasil merumuskan hukum sebab-akibat, yang menjelaskan sebagian besar kejadian di alam. Karena itu, signifikansi mitos-mitos tersebut makin surut.

Bukan kebetulan bila salah satu tempat di Perjanjian Baru, kita melihat bukti-bukti mitologi Yunani, yaitu Kisah Para Rasul 14 tentang Paulus dan Barnabas di kota Listra yang disangka sebagai titisan dewa-dewa Yunani, Zeus dan Hermes, adalah tempat yang sangat terbelakang dan terpencil, di mana tradisi-tradisi kuno sering kali paling sulit dihapuskan. Namun, jika orang-orang tidak lagi mengikuti mitos-mitos kuno seperti dahulu, apa lagi pilihan kepercayaan Yunani-Romawi yang ada? Ada satu yang baru seiring dengan bangkitnya Kekaisaran Romawi, terutama di wilayah timur kekaisaran itu, yaitu pemujaan kaisar. Ini adalah pilihan religius yang tumbuh secara bertahap.

B. Penyembahan Kaisar

Awalnya, seorang kaisar didewakan secara musyawarah-mufakat oleh senat Romawi setelah ia wafat. Namun, Kaligula, yang memerintah dari tahun 37-41M, mengklaim diri sebagai dewa ketika masih hidup, dan kebanyakan orang menganggapnya gila. Baru pada pertengahan tahun 60-an M, setelah Kaisar Nero, klaim seperti itu mulai ditanggapi dengan serius, dan sebagian dengan paksaan. Pada abad pertama, waktu kitab Wahyu ditulis, kaisar Domisianus mewajibkan semua orang di wilayah kekaisarannya untuk mempersembahkan sejumput dupa kepadanya sambil berkata, “Kaisar adalah Tuhan.” Agama Kristen yang baru lahir, seperti Yudaisme sebelumnya, tidak dapat melakukannya. Penganiayaan yang dialami oleh umat Kristen karena aturan penyembahan kepada kaisar adalah bagian penting dari latar belakang agama pada abad pertama dan munculnya Perjanjian Baru. Namun, perlu disadari bahwa pada zaman Yesus, yaitu di awal masa tersebut, persembahan kurban bagi kaisar dianggap oleh kebanyakan orang tidak lebih dari sekadar tindakan patriotik. Itu tidak mencerminkan kedalaman identitas agama mereka.

C. Agama-agama Mistik

Pilihan ketiga adalah apa yang disebut para ahli sebagai agama-agama mistik. Yaitu kumpulan dari berbagai gerakan, seringkali baru dan banyak dipengaruhi dunia timur, termasuk dari Mesir, yang mendefinisikan diri dalam berbagai cara; tetapi semuanya mengklaim memiliki wahyu rahasia, yang hanya diketahui oleh peserta ritual dalam kultus mereka, yaitu sejenis organisasi persaudaraan. Semuanya memiliki upacara-upacara khas yang mencirikan apa yang akan dilakukan oleh mazhab tersebut ketika berkumpul. Terkadang upacara tersebut sangat tenang, seperti meditasi. Dewa jagung, Demeter, adalah objek salah satu agama mistik di mana seseorang hanya bermeditasi dan merenungkan setongkol jagung. Ada upacara lain yang sangat aneh, seperti dibaptis dengan darah pada kultus Sibelen, di mana seorang pendeta ditanam dalam sebuah lubang di tanah lalu seekor sapi jantan disembelih di atas kisi-kisi kayu di atas pendeta sehingga darahnya tercurah dan membaptis pendeta baru kultus tersebut.

Beberapa ahli meneliti kesamaan atau dugaan kesamaan di antara upacara baptisan tersebut dengan baptisan dalam agama Kristen atau di antara jamuan makan persekutuan dengan Perjamuan Kudus atau Ekaristi Kristen. Namun, dalam banyak hal agama-agama mistik itu sangat berbeda dengan agama Kristen, dengan dua pengecualian penting. Lebih jelas daripada agama tradisional Yunani, agama mistik menawarkan janji kehidupan kekal, seperti halnya agama Kristen. Kedua, sebuah pengembangan ajaran agama mistik mengklaim bahwa semua orang, semua jenis kelamin, semua lapisan masyarakat, baik budak maupun pengurus, adalah setara di mata para dewa-dewi. Apa pun perbedaan kelas pada kehidupan mereka di siang hari, ketika mereka bertemu dalam pemujaan secara diam-diam di malam hari, semua penghalang tersebut disingkirkan. Kekristenan menjadi sangat menonjol, seperti yang dikatakan Paulus dalam Galatia 3:28, karena mengatakan bahwa di dalam Kristus tidak ada hamba atau orang merdeka, orang Yahudi atau bukan Yahudi, laki-laki atau perempuan.

D. Aliran-aliran Filsafat

Pilihan keempat, mungkin lebih terbatas pengaruhnya karena tuntutan yang berat, pilihan para filsuf, yaitu menjadi pengikut setia dari seorang filsuf terkenal, baik di masa lalu maupun pada masa Yunani-Romawi. Kaum Epikuros, terkenal dengan slogan mereka “makan, minum, dan bergembiralah, karena besok kita mungkin saja mati”, meski mereka tidak sehedonis seperti yang disiratkan oleh slogan tersebut. Secara umum, mereka hanya berusaha mengembangkan apa yang sekarang kita anggap sebagai seni menikmati hidup—menonton bioskop, memiliki teman baik, makanan yang baik, anggur yang baik—dan menghilangkan rasa sakit sebanyak mungkin.

Jenis kedua, berasal dari setidaknya tiga abad sebelum Masehi tetapi masih populer di abad pertama Masehi, adalah kaum Stoa, yang dalam beberapa hal merupakan kebalikan atau tandingan dari kaum Epikuros. Mereka juga ingin memaksimalkan kesenangan hidup dan mengurangi rasa sakit, tetapi mereka melakukannya dengan menghilangkan kesenangan ekstrem yang dinikmati oleh kaum Epikuros—merawat tubuh dengan mendisiplinkannya sehingga mereka tidak merasakan penderitaan berat yang tidak dapat dikendalikan atau memuaskan diri dengan hal-hal yang merusak.

Secara teologis, kaum Stoa adalah penganut Panteisme, yang meyakini bahwa Tuhan adalah segala sesuatu dan di dalam segala sesuatu—sedangkan, kaum Epikuros berpikir bahwa dewa-dewa, jika memang ada, terlalu jauh untuk dapat dikenal. Sangat menarik bila kita melihat di dalam Kisah Para Rasul 17 bahwa Rasul Paulus berdialog dengan para filsuf Stoa dan Epikuros dan menyindir mereka satu persatu. Terhadap kaum Stoa, ia mengatakan bahwa Tuhan adalah Pencipta atas seluruh bumi. Terhadap kaum Epikuros, ia berkata bahwa Tuhan tidak jauh dari kita dan, sambil mengutip seorang pujangga Stoa, ia berkata, “Di dalam Dia kita hidup dan bergerak dan memiliki keberadaan kita.”

Ada beberapa filsafat lain yang kurang terkenal. Salah satunya adalah kaum Sinis. Kita masih menggunakan kata itu sampai sekarang. Anda dapat menyebutnya kaum hippies di dunia kuno. Mereka adalah gelandangan, pengemis, tidak terawat, percaya bahwa seseorang merawat tubuhnya hanya sebatas memenuhi kebutuhan paling mendasar dan bergantung pada orang lain untuk mendapatkan makanan sehingga mereka dapat membebaskan kehidupan mental dan spiritual, untuk memikirkan hal-hal di atas dan di luar dunia materi. Ada kemiripan antara gaya hidup mereka dengan pelayanan Yesus dan kesulitan serta kerasnya kehidupan yang Ia dan murid-murid-Nya hadapi. Namun, sekali lagi, perbedaan di antara keduanya mengalahkan kemiripan tersebut.

E. Gnostisisme

Perkembangan penting lainnya di dunia Yunani-Romawi adalah munculnya sebuah agama yang dikenal sebagai Gnostisisme. Akar pemikirannya dapat ditelusuri pada filsuf Plato tetapi telah menyerap unsur-unsur Yahudi dan Yunani-Romawi yang lebih baru. Pada abad pertama muncullah sebuah gerakan yang sangat bertentangan dengan dunia saat itu, yang disebut para ahli sebagai Dualisme. Mereka percaya bahwa dunia materi pada dasarnya jahat karena kenyataannya, dalam mitos Gnostik, penciptaan dunia adalah sebuah kesalahan, sebuah tindakan dari turunan ilahi—entitas abstrak tanpa pribadi yang memberontak terhadap tuhan yang jauh dan tidak dapat diketahui oleh kaum Gnostik. Ketika menciptakan dunia materi, turunan tersebut melakukan sesuatu yang buruk. Karena itu, tidak seperti agama Yahudi dan Kristen, kaum Gnostik berusaha menyangkal diri sendiri, bahkan keinginan tubuh yang normal. Ironisnya, terkadang mereka jatuh ke sisi ekstrem yang lain dan berpikir, “Jika materi tidak penting, mari kita manjakan tubuh tanpa batas.”

Gnostisisme itu, mulai memasukkan elemen-elemen kekristenan mula-mula pada pertengahan hingga akhir abad pertama, sehingga juru selamat bagi kaum Gnostik, yang secara tradisional adalah sofia—kata dalam bahasa Yunani yang berarti “kebijaksanaan”, merujuk kepada sejenis kesadaran yang mengenali percikan ilahi di dalam diri semua manusia—mulai ditafsirkan menjadi Yesus. Yesus disamakan dengan Sofia, yang adalah juru selamat. Setidaknya dari dokumen-dokumen Perjanjian Baru yang paling akhir, khususnya surat-surat Yohanes, kita melihat bahwa agama Kristen berhadapan dengan bentuk Gnostisisme yang sudah berkembang. Meski demikian, kita akan melihat melalui pelajaran tentang surat-surat Paulus beberapa petunjuk yang memperlihatkan bahwa Gnostisisme telah dihadapi oleh jemaat mula-mula bahkan lebih awal lagi.

III. Agama Yahudi

Yunani-Romawi hanyalah salah satu dari sejumlah peradaban besar yang dihidupi pada abad pertama. Jelas bahwa semua orang Kristen yang pertama adalah orang Yahudi. Meskipun beberapa orang Yahudi murtad dan mengadopsi agama-agama Yunani-Romawi, sebagian besar dari mereka tetap setia kepada tradisi nenek-moyang. Lantas, apa saja pilihan yang dimiliki oleh seseorang, yang lahir dan dibesarkan sebagai anak laki-laki atau perempuan Yahudi? Di dalam Perjanjian Baru, kita membaca tentang tiga mazhab utama agama Yahudi. Dari tulisan-tulisan sejarawan Yahudi abad pertama, Yosefus, kita membaca tentang mazhab yang keempat.

A. Am-ha-Aretz (Penduduk Negeri)

Terkadang kita membaca Perjanjian Baru dan berpikir bahwa orang-orang Yahudi harus menempatkan diri mereka dalam salah satu dari keempat mazhab tersebut, dan keempatnya membentuk sebagian besar agama Yahudi. Itu sama sekali tidak benar. Sebagian besar, setidaknya 80 persen (beberapa orang mengatakan hingga 95 persen) dari orang Yahudi abad pertama, tidak tergolong dalam mazhab tertentu. Mereka adalah para pekerja biasa—nelayan, petani, pedagang kecil, pengrajin, tukang kayu, dan sebagainya. Mereka secara khusus disebut Am-ha-aretz, “penduduk negeri,” oleh orang-orang Yahudi yang duduk dalam salah satu mazhab kepemimpinan. Secara khusus karena mereka tidak menyala-nyala dalam mematuhi hukum Taurat atau peduli untuk menaati perintah-perintah Allah sampai titik-komanya, seperti mazhab-mazhab Yahudi lainnya. Tidak mengherankan jika sebagian besar pengikut Yesus yang pertama berasal dari kalangan “penduduk negeri” tersebut, yaitu orang-orang biasa yang tetap menyimpan harapan akan datangnya Mesias—seorang Pembebas, Juru Selamat yang akan datang—sekalipun mereka tidak memiliki waktu, minat, atau bahkan kemampuan untuk mempelajari Taurat dengan saksama, atau mengikuti kecenderungan-kecenderungan ekstrem mazhab-mazhab Yahudi yang ada.

B. Orang-orang Farisi

Bagaimana dengan kelompok minoritas kecil yang termasuk ke dalam salah satu dari empat kategori yang dikenal tersebut? Di satu sisi, ada kelompok yang dikenal sebagai Farisi, yang sering dikaitkan dengan ahli-ahli Taurat di dalam Perjanjian Baru. Ahli Taurat adalah sebuah profesi, yaitu orang yang telah belajar menyalin Kitab Suci Ibrani berulang kali dengan tangan, dan dalam prosesnya, menjadi sangat akrab dengan kitab-kitab tersebut dan sering kali menjadi ahli dalam hukum Taurat. Mereka tergabung dalam mazhab-mazhab yang berbeda, tetapi ada juga yang tidak berafiliasi dengan mazhab sama sekali. Sebagian besar dari mereka yang kita jumpai di dalam Perjanjian Baru sepertinya adalah ahli-ahli Taurat Farisi.

Farisi, yang merupakan sebuah mazhab, adalah kumpulan orang-orang yang sangat berdedikasi menemukan cara-cara untuk menerapkan Taurat, hukum orang Ibrani, ke dalam setiap aspek kehidupan Yahudi kontemporer. Meski terdapat 613 perintah dalam Taurat, perintah-perintah tersebut tentu tidak dapat mencakup semua situasi kehidupan dan perubahan situasi dalam abad-abad setelah Taurat Yahudi diberikan. Kita mungkin mengenal orang Farisi karena beberapa kali mereka berkonflik dengan Yesus. Beberapa teguran-Nya yang pedas, khususnya dalam Matius 23, berulang kali menyebut mereka, bersama dengan ahli-ahli Taurat, sebagai orang-orang munafik. Namun, kita harus menyadari bahwa orang Farisi membentuk berbagai macam perspektif yang berbeda dalam Yudaisme kuno. Tidak semua, bahkan mungkin tidak sebagian besar, dari mereka munafik. Bahkan, mereka yang dicap demikian oleh Yesus belum tentu dipandang demikian oleh masyarakat Yahudi. Kenyataannya, orang-orang Farisi adalah mazhab yang paling populer di antara “penduduk negeri” itu.

Praktik-praktik agama Kristen dalam ibadah di sinagoge, yang kemudian beralih kepada ibadah di gereja, pemahaman tentang hukum Taurat yang digenapi dalam kasih, bahkan perdebatan tentang persoalan etika seperti bercerai atau membayar pajak, dalam banyak hal mencerminkan latar belakang Farisi, sekalipun Yesus hampir selalu memberi sedikit sentuhan atau puntiran yang berbeda pada apa yang dilakukan atau dikatakan oleh para Farisi. Jika kita ingin bersikap jujur dan mencerminkan dinamika abad pertama, kita harus mengatakan bahwa orang Kristen konservatif dan injili, yang saat ini memiliki pandangan yang sangat tinggi terhadap Kitab Suci dan ingin menerapkannya dalam setiap aspek kehidupan, mungkin mirip dengan orang Farisi kuno. Maka, sungguh mengejutkan bila orang-orang seperti itu kadang jatuh ke dalam sikap legalistis dan dituduh memutarbalikkan apa yang seharusnya merupakan hubungan yang hidup dengan Allah menjadi agama yang penuh dengan serangkaian aturan tentang yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Orang-orang Kristen juga, khususnya yang konservatif, harus berhati-hati agar tidak menjadi mirip dengan orang Farisi daripada dengan pengikut Kristus.

C. Orang-orang Saduki

Ada pula kelompok lain. Ada orang-orang Saduki, kelompok yang lebih kecil, yang tidak sependapat dengan orang-orang Farisi dalam beberapa persoalan utama. Ketika orang Farisi mengadopsi hukum-hukum baru, yang kemudian dikenal sebagai hukum lisan—yang baru dituliskan sekitar dua ratus tahun setelah Kristus dalam dokumen Yahudi yang dikenal sebagai Mishnah—karena orang Farisi percaya bahwa Allah mengilhami Musa, tidak hanya untuk menuliskan hukum tertentu tetapi juga untuk melestarikan tradisi-tradisi lisan lainnya; orang Saduki, sebaliknya, hanya menerima Kitab Suci Ibrani yang tertulis dan kanonis. Akibatnya, mereka skeptis terhadap doktrin-doktrin yang tidak jelas atau sering ditemukan dalam Kitab Suci, khususnya dalam Hukum Taurat, seperti kepercayaan terhadap kebangkitan orang mati, atau malaikat, atau takdir, atau kehidupan kekal yang akan datang.

Di sisi lain, orang Farisi terus mengembangkan pemikiran mereka, dan lebih dekat dengan banyak kepercayaan Kristen mula-mula. Paulus, yang diadili beberapa kali menjelang akhir dari Kisah Para Rasul, mengajukan banding atas fakta bahwa ia adalah seorang Farisi, bukan Saduki, dan itu memecah-belah konsili Yahudi, yaitu Sanhedrin. Beberapa orang ingin membelanya; yang lain tidak. Namun, penerapan hukum Taurat yang lebih harfiah oleh kaum Saduki tidak mampu bertahan saat penghancuran Bait Suci pada tahun 70 M. Mereka percaya bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan pengampunan dosa adalah dengan terus menerus mempersembahkan korban binatang secara harfiah; sedangkan orang Farisi percaya bahwa doa pertobatan, yaitu memohon ampun kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh lalu bertindak berdasarkan pertobatan tersebut melalui kehidupan yang berubah, menghasilkan pengampunan Allah bila mana korban hewan tidak mungkin dipersembahkan. Karena itu, tidak heran bila cabang Yudaisme Farisi masih bertahan pada saat kehancuran Yerusalem dan Bait Suci pada tahun 70 M, sedangkan kaum Saduki punah dengan cepat.

D. Kaum Esseni

Ada sebuah kelompok yang namanya tidak pernah disebutkan di dalam Perjanjian Baru, tetapi merupakan kelompok yang sangat penting. Mereka adalah kelompok Yahudi yang dikenal sebagai kaum Esseni. Dalam 50 tahun terakhir, karya mereka telah menjadi sangat terkenal sejak ditemukannya sebuah pustaka besar berisi gulungan-gulungan kitab di tepi Laut Mati di Israel, di sebuah tempat yang dikenal dengan nama Qumran. Kaum Esseni adalah kelompok biarawan, meski kita tahu dari penulis lain bahwa kadang mereka juga tinggal di kantong-kantong pemukiman di kota besar. Lebih dari kelompok Yahudi lainnya, mereka percaya bahwa satu-satunya cara untuk menyenangkan Tuhan adalah dengan menarik diri dari masyarakat sampai batas tertentu, dan dengan lebih saksama berusaha menaati perintah-perintah Taurat, Kitab Suci Ibrani. Mereka mengembangkan beberapa doktrin yang khas, seperti kepercayaan kepada kedatangan dua Mesias, satu imam dan satu raja, karena di dalam Perjanjian Lama peran-peran tersebut diberikan kepada putra-putra dan suku-suku Israel yang berbeda.

Ada banyak kesamaan antara tulisan-tulisan komunitas Qumran yang telah ditemukan dengan berbagai ajaran atau konsep Perjanjian Baru—Ucapan Bahagia, misalnya, atau kepedulian terhadap orang miskin, atau penggunaan istilah “Anak Allah” sebagai gelar Mesias. Beberapa orang bahkan berpendapat bahwa Yohanes Pembaptis mungkin memiliki hubungan dengan kaum Esseni karena gaya pelayanannya mirip dengan mereka. Beberapa orang melangkah lebih jauh dan melihat Yesus sebagai seorang Esseni, meski kemungkinannya sangat kecil. Jadi, meski nama mereka tidak muncul di halaman-halaman Perjanjian Baru, apa yang kita pelajari dari gulungan-gulungan kitab Qumran tentang mazhab yang unik ini secara signifikan menerangi pemahaman kita tentang Yudaisme abad pertama yang di dalamnya Yesus lahir.

E. Orang-orang Zelot

Kelompok terakhir yang perlu kita sebutkan adalah orang-orang Zelot, yaitu para pejuang kemerdekaan. Muncul secara sporadis melalui gerakan-gerakan teroris singkat di sepanjang abad pertama, mereka akhirnya bersatu pada tahun 60-an Masehi dan mencoba menggulingkan pemerintah Romawi. Seperti yang telah kita bahas dalam pelajaran terakhir, mereka gagal total. Tidak diragukan, mereka berharap bahwa pembebasan Bait Suci, seperti yang terjadi pada masa Makabe, yang dirayakan setiap Hanukkah, akan terulang kembali. Namun, apa pun alasannya, kali ini mereka gagal. Dan, mazhab mereka juga dilenyapkan. Kita melihat bukti bahwa bangsa Romawi menghancurkan Qumran. Kemungkinan besar kaum Esseni tidak selamat setelah tahun 70M, sehingga hanya kaum Farisi yang tersisa sebagai gerakan yang akan berubah menjadi apa yang kita sebut sebagai Yudaisme rabi, yaitu Yudaisme yang tumbuh berdampingan, meski sering kali bertentangan dan bertikai dengan, agama Kristen.

F. Rangkuman tentang Agama Yahudi

Bagaimana kita dapat menyimpulkan agama Yahudi pada abad pertama? Terlepas dari apakah seseorang termasuk ke dalam salah satu mazhab atau tidak, ada beberapa ciri utama yang mendefinisikan identitas Yahudi bagi hampir semua orang. Bagi kaum pria, sunat membedakan mereka dari tetangga Yunani-Romawi mereka, selain memelihara satu dari tujuh hari Sabat sebagai hari untuk beristirahat dan beribadah, kitab suci yang khas, Taurat dengan segala perintahnya, dan pemahaman yang unik mengenai diri mereka sebagai umat pilihan Allah di suatu wilayah geografis yang khusus. Masalahnya, mereka tidak hidup merdeka di negeri itu, dan karenanya, pengharapan mesianis akan seorang yang datang dan membebaskan mereka dapat terwujud, sangat tinggi. Sayangnya, Mesias yang mereka nantikan tidak lebih dari seorang jenderal atau penguasa militer, sehingga ketika Yesus dan agama Kristen muncul dan menyatakan bahwa Mesias telah datang, deskripsi pekerjaan-Nya tidak sesuai dengan ekspektasi konvensional mereka. Melalui tinjauan singkat ini, setidaknya kita menjadi lebih siap untuk beralih ke Perjanjian Baru dan memahami berbagai gerakan keagamaan yang dinyatakan atau tersirat di sana.