Pelajaran Progress
0% Menyelesaikan
00:00 /

Sebagian besar kita tumbuh dengan menerima kebenaran yang diajarkan kepada kita. Semasa kecil, kita diajari bahwa bumi itu bulat dan tidak datar, dengan tujuh benua, dan semesta terdiri dari partikel-partikel kecil yang disebut atom, yang tersusun atas partikel-partikel yang lebih kecil lagi. Jika kita dibesarkan dalam keluarga Kristen, kita mempelajari kisah Abraham, Yusuf, Daud, Yesus, dan yang lain, dan menganggapnya sebagai narasi sejarah. Selain itu, kita diajari bahwa Allah itu ada, Alkitab adalah wahyu dari Allah kepada umat manusia, dan Yesus adalah Anak Tunggal Allah yang mati untuk dosa-dosa dunia lalu bangkit dari kematian, dan menawarkan kehidupan kekal bagi mereka yang mengikuti-Nya.

Namun, baik kita yang dibesarkan dalam keluarga Kristen maupun yang mengimani agama Kristen di kemudian hari, suatu saat kita mungkin bertanya-tanya, apakah yang diajarkan kepada kita memang benar. Mungkin Anda pernah ditantang, atau bertanya pada diri sendiri, pertanyaan-pertanyaan seperti, “Bagaimana saya tahu bahwa Yesus bangkit dari kematian?”; “Bagaimana saya tahu bahwa Alkitab itu benar, tidak penuh dengan kesalahan atau gagasan yang dikarang-karang oleh orang-orang di masa lampau?”; atau “Bagaimana saya tahu bahwa Allah itu benar-benar ada?” Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan umum yang telah diajukan terhadap iman Kristen selama beberapa generasi, dan itu adalah jenis-jenis pertanyaan yang harus siap untuk dijawab oleh setiap orang percaya, baik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.

Salah satu ayat Alkitab yang terkenal menasihatkan orang Kristen agar siap sedia menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu terdapat dalam 1 Petrus 3:15. Sebagai konteks, kitab 1 Petrus ditulis kepada orang-orang percaya yang tersebar di seluruh wilayah Turki modern dan yang mengalami penganiayaan karena iman mereka. Sebenarnya, tujuan Petrus menulis surat ini adalah untuk mendorong para pembacanya agar tetap setia dan kudus dalam menghadapi penderitaan. Namun, bagaimana mereka bisa tetap setia di tengah-tengah penolakan demikian?

Dalam ayat-ayat sebelum 1 Petrus 3:15, Petrus mengingatkan para pembacanya bahwa mereka adalah pewaris dari sejumlah manfaat dan berkat-berkat rohani, dan bahwa mereka dipanggil untuk mencapai standar hidup tertentu. Ia menulis bahwa

pembacanya telah dilahirkan kembali ke dalam pengharapan yang hidup (1Ptr. 1:3);

mereka harus mempersiapkan pikiran untuk bertindak dan berpikir jernih (1Ptr. 1:13);

mereka harus hidup kudus di dalam dunia sebagai kesaksian akan iman mereka (1Ptr. 1:15);

mereka, seperti batu yang hidup, sedang dibangun menjadi rumah rohani (1Ptr. 2:5);

mereka adalah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat umat kepunyaan Allah sendiri
(1Ptr. 2:9);

mereka harus rela menderita di tangan orang-orang yang tidak adil sebagai kesaksian iman mereka kepada Allah,

sama seperti yang dilakukan Yesus melalui kehidupan dan kematian-Nya (1Ptr. 2:20);

mereka harus memiliki kesatuan pikiran, simpati, kasih satu sama lain, dan rendah hati (1Ptr. 3:8);

mereka tidak perlu takut kepada orang-orang yang menganiaya mereka (1Ptr. 3:14); dan

mereka harus dapat memberi alasan atas pengharapan yang mereka miliki di dalam Kristus (1Ptr. 3:15).

Poin terakhir dalam daftar manfaat dan panggilan itulah yang akan kita fokuskan. Di situ Petrus mengungkapkan, bukan hanya kepada para pembacanya tetapi juga kepada semua orang percaya, salah satu tanggung jawab luar biasa yang dikaruniakan kepada kita semua, yaitu agar kita siap sedia tiap kali diminta untuk memberi alasan atas pengharapan yang kita miliki di dalam Kristus. Di dalam 1 Petrus 3:14-15 Petrus menulis, “Tetapi, sekalipun kamu harus menderita juga karena kebenaran, berbahagialah kamu. Sebab itu, janganlah takut kepada mereka dan janganlah gentar. Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.” Di dalam ayat-ayat ini, Petrus menawarkan dua tantangan utama.

Panggilan untuk Menghormati Kristus

Pertama, panggilan untuk menghormati Kristus sebagai yang kudus. Gagasan menghormati Kristus yang kudus diambil dari kata Yunani hagiázō, yang mengacu pada tindakan memperlakukan sesuatu dengan rasa kagum atau melihatnya sebagai sesuatu yang berbeda dari hal-hal yang umum. Terjemahan lain dari 1 Petrus 3:15 mengartikan istilah tersebut sebagai memisahkan, menghormati, atau menguduskan Kristus.

Di dalam Matius 6:9, kata tersebut diterjemahkan menjadi “dikuduskan” dan merujuk kepada nama Allah, “Bapa kami yang di surga, dikuduskanlah nama-Mu.” Di sini Yesus meminta para pengikut-Nya untuk menjadikan nama Bapa (yang mewakili identitas-Nya) sebagai sesuatu yang istimewa, unik, dan kudus.

Di dalam Yohanes 17:17, Yesus memohon kepada Bapa untuk menguduskan para pengikut-Nya dalam firman-Nya ketika Dia berkata, “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu itulah kebenaran.” Yesus meminta agar Bapa memisahkan para pengikut-Nya, secara rohani, dari dunia melalui firman-Nya yang ditanamkan dalam hidup mereka.

Namun, apakah arti istilah tersebut dalam kaitannya dengan kehidupan dan praktik sehari-hari masa kini? Apa yang Petrus harapkan para pembacanya lakukan ketika berkata bahwa mereka harus menghormati, mengkhususkan, memuliakan, atau menguduskan Kristus sebagai Tuhan di dalam hati mereka? Sederhananya, Petrus meminta orang percaya untuk menyadari bahwa Yesus adalah Pribadi yang harus berbeda, kudus, dan unik dalam hidup mereka.

Kita menghormati Kristus dalam hidup kita apabila kita mengutamakan Dia, yaitu ketika kita menempatkan kehendak-Nya di atas keinginan kita sendiri. Itu berarti, kita memutuskan untuk menghormati dan membawa kemuliaan bagi-Nya melalui cara hidup kita. Penting untuk diperhatikan bahwa nasihat Petrus agar menghormati Kristus menunjukkan keselamatan yang nyata dalam kehidupan seseorang. Hanya dengan menerima kebenaran yang mengubahkan hidup—Yesus Kristus telah mempersembahkan diri-Nya sebagai korban bagi dosa-dosa kita­—kita dapat benar-benar menghormati Dia sebagai Tuhan. Menghormati Kristus dalam hidup sehari-hari dimulai dengan mengakui Dia sebagai Juru Selamat dan mengikuti-Nya sebagai Tuhan. Melalui kesetiaan yang teguh kepada Yesus, kita meletakkan fondasi yang di atasnya pembelaan iman kita berdiri.

Panggilan untuk Membela Iman Kita

Petrus tidak hanya meminta orang percaya untuk menghormati Kristus, ia juga menantang kita untuk siap dan mampu memberi jawaban atas pertanyan mengapa kita mempercayai apa yang kita percaya. Kemampuan memberi jawaban atas iman kristen kita dapat mencakup jawaban yang sederhana, atau terkadang kompleks, tergantung pada pertanyaan yang diajukan.

Praktik memberi alasan atas apa yang kita percaya sebagai pengikut Kristus disebut Apologetika Kristen. Istilah apologetika berasal dari kata Yunani apologia. Pada abad pertama, pada masa hidup Petrus, istilah tersebut merujuk kepada praktik menyiapkan pembelaan hukum atau argumen yang matang guna menyanggah tuduhan yang dilontarkan kepada seseorang atau pandangan filosofis tertentu. Petrus menggunakan istilah itu untuk menyebut pembelaan atas pengharapan yang berasal dari iman kepada Yesus.

Istilah apologia muncul delapan kali dalam seluruh Perjanjian Baru. Mari kita baca setiap kemunculannya agar kita lebih memahami bagaimana kata tersebut digunakan dalam konteks yang berbeda-beda:

Dalam Kisah Para Rasul 22:1, setelah dikepung oleh orang banyak di Bait Allah, Paulus berkata, “Dengarkanlah apa yang hendak kukatakan sekarang kepadamu sebagai pembelaan diri [atau apologia-ku].”

Kemudian dalam Kisah Para Rasul 25:16, Paulus menunjukkan kepada orang-orang yang menuduhnya di hadapan Festus bahwa hukum Romawi tidak memperbolehkan seseorang dihukum tanpa pengadilan. Ia harus diberi kesempatan untuk bertemu dengan “orang-orang yang menuduhnya” dan diberi kesempatan untuk membela dirinya [atau memberi apologia].

Kepada mereka yang mempertanyakan otoritasnya sebagai rasul, Paulus menulis dalam 1 Korintus 9:3. “Inilah pembelaanku [apologia-ku] terhadap mereka yang mengkritik aku.”

Dalam 2 Korintus 7:11, Paulus menyampaikan kepada mereka yang peduli terhada dia, “Sebab perhatikanlah betapa justru dukacita yang menurut kehendak Allah itu mengerjakan pada kamu kesungguhan yang besar, bahkan pembelaan diri” (memberikan apologia kepadamu).

Kepada jemaat di Filipi, Paulus menuliskan (Filipi 1:7), “kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela [memberikan apologia] dan meneguhkan Berita Injil.” Dalam bagian yang lain, ayat 16, dia mengatakan bahwa ada yang memberitakan Kristus karena kasih, sebab tahu dia ada di sana untuk membela Injil.” (ada di sana untuk memberi apologia).

Dalam 2 Timotius 4:16, Paulus menceritakan bahwa pada “pembelaanku [apologia-ku] yang pertama”, tidak seorangpun datang untuk membelanya, tetapi semuanya meninggalkannya.

Dan, akhirnya, dalam 1 Petrus 3:15 kita membaca nasihat Petrus kepada orang-orang percaya agar mereka selalu siap sedia memberi pembelaan [apologia] kepada setiap orang yang bertanya tentang pengharapan yang ada di dalam diri mereka.

Penggunaan kata apologia menunjukkan bahwa kekristenan bukanlah sebuah agama yang buta, melainkan agama yang logis, yang dapat dibela karena didukung oleh fakta-fakta. Bukan berarti kita dapat mendebat orang lain untuk mendapatkan keselamatan. Menurut Efesus 2:8-9, keselamatan hanya melalui iman karena anugerah Allah. Titik. Tujuan dari Apologetika adalah mempersiapkan jalan menuju iman Kristen dengan mengizinkan orang-orang yang belum percaya untuk melihat dengan jelas apa yang diajarkan oleh agama Kristen Fakta tidak menghancurkan iman, tetapi justru mendukungnya.

Contohnya dapat ditemukan dalam empat belas ayat pertama dari 1 Korintus 15 di mana Paulus menggunakan realitas kebangkitan Yesus sebagai bukti atas kebenaran agama Kristen. Di situ Paulus menggunakan bukti historis berupa kesaksian dari para saksi mata dan keakuratan Alkitab sebagai dasar imannya. Paulus bahkan mempertaruhkan keabsahan agama Kristen secara menyeluruh pada kebenaran historis dari peristiwa kebangkitan itu. Tanpa fakta itu, Paulus berkata (ayat 19), “kita adalah orang-orang yang paling malang.”

Tidak seperti sistem agama lain yang menutupi pertanyaan-pertanyaan tentang asal-usul dan kepercayaan iman mereka, agama Kristen didasarkan pada kebenaran dan realitas. Karena itu, orang percaya tidak perlu bersembunyi dari pertanyaan-pertanyaan yang sulit, atau takut terlibat dalam unsur-unsur lahiriah dan batiniah yang membentuk praktik apologetika.

Secara lahiriah, praktik apologetika berusaha memberi jawaban atas pertanyaan mengapa agama Kristen itu benar dibandingkan dengan sistem kepercayaan yang lain. Secara batiniah, praktik apologetika berusaha mengoreksi keyakinan iman seseorang yang salah. Berbeda dengan pemikiran umum, kata apologia tidak berarti meminta maaf, meskipun kata tersebut di dalam bahasa Inggris berasal dari istilah Yunani kuno. Sebagai orang percaya, kita tidak pernah diminta untuk meminta maaf atas kebenaran tentang Allah atau iman kita; sebaliknya, kita dipanggil untuk mempertahankannya.

Praktik mempertahankan kepercayaan agama Kristen dapat ditemukan dalam banyak teks Perjanjian Baru. Sebagai contoh, di dalam Kolose 4:5-6 Paulus menulis, “Hiduplah dengan penuh hikmat terhadap orang-orang luar, pergunakanlah waktu yang ada. Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Kata memberi jawab menyiratkan tindakan menanggapi sebuah pertanyaan.

Dalam Titus 1:9, sebuah ayat tentang penetapan dan karakter pemimpin gereja, dituliskan bahwa ia harus “berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasihati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya”. Paulus memerintahkan Titus, anak rohaninya, untuk mengangkat para pemimpin gereja yang dapat menegur, atau menyatakan kesalahan terhadap mereka yang mengajarkan doktrin yang salah. Itu diwujudkan dengan memberikan argumen-argumen yang masuk akal tentang ajaran Kristen.

Dan, di dalam 2 Timotius 2:24-25, sekali lagi mengenai karakteristik pemimpin gereja, kita membaca bahwa “seorang hamba Tuhan tidak boleh bertengkar, tetapi harus ramah terhadap semua orang. Ia harus pandai mengajar, sabar, dan dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan”. Kata “menuntun” berarti mendidik orang lain, baik melalui pengajaran maupun dengan membela kebenaran tertentu.

Untuk itu, praktik apologetika bergantung pada seni berpikir kritis. Saat ini banyak orang cenderung mengadopsi nilai sosial, teologis, atau budaya atas sebuah topik tanpa memikirkannya secara mendalam atau memahami mengapa mereka meyakininya benar. Selain itu, masyarakat modern dan banyak orang yang menyebut diri Kristen sering kali tidak dapat membahas sebuah isu secara damai dan rasional, meskipun tetap berselisih pendapat tetapi saling menghormati.

Tujuan dari Apologetika Kristen bukanlah memenangkan sebuah argumen, melainkan meyakinkan orang lain akan kebenaran agama Kristen. Menurut Os Guinness, “Apologetika telah kehilangan aspek penginjilan dan lebih sering berurusan dengan ‘argumen’, khususnya berusaha memenangkan argumen daripada memenangkan hati, pikiran, dan orang. Kebutuhan mendesak kita saat ini adalah menyatukan kembali penginjilan dan Apologetika.”1

Ketika kita berusaha memahami agama Kristen dan mengomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, kita mengasihi Allah dengan pikiran kita sendiri (Mrk. 12:30). Dan, ketika kita mengasihi Allah dengan pikiran kita sendiri, kita menjadi lebih mengerti mengapa kita memercayai apa yang kita percayai. Ketika kita menggali firman Allah lebih dalam
dan belajar menunjukkan bahwa kita telah diterima,2 kita mempersiapkan diri kita untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh dunia sekitar kita, sehingga kita tidak hanya mengasihi Allah dengan hati, jiwa, dan kekuatan kita, tetapi juga dengan akal budi kita.

Pengharapan Orang Percaya

Dua tantangan yang diajukan Petrus—kuduskan Kristus sebagai Tuhan dalam hidup kita dan siap memberi jawaban atas iman kita—berpusat pada pengharapan kita sebagai orang percaya, “Kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu.” Namun, pengharapan apa yang harus kita bela?

Berbeda dengan pemahaman sebagian orang tentang istilah tersebut pada masa kini, kata pengharapan (elpís) tidak merujuk kepada “angan-angan”. Konsep pengharapan dalam Perjanjian Baru, bila ditujukan kepada Allah, bermakna pengharapan yang pasti, atau penantian yang sabar atas sesuatu yang dikaruniakan secara ilahi. Pengharapan kita kepada Allah dibuktikan dengan apa yang telah Ia lakukan di masa lalu, apa yang terus Ia lakukan saat ini, dan apa yang Ia janjikan akan Ia lakukan di masa depan. Dalam konteks 1 Petrus 3:15, penggunaan kata pengharapan oleh Petrus mewakili iman Kristen secara keseluruhan, atau secara spesifik merujuk kepada pengharapan yang kita terima melalui keselamatan—pengharapan yang mencakup beberapa unsur.

Pertama, karena Kristus, kita memiliki pengharapan bahwa dosa-dosa kita telah diampuni. Di dalam Mazmur 103:12, Daud berkata bahwa ketika Allah mengampuni umat-Nya, Ia membuang dosa mereka sejauh timur dari barat. Di dalam Kisah Para Rasul 2:38, Petrus, dalam khotbahnya pada hari Pentakosta, meminta orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut agar “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu.” Kemudian, di dalam Efesus 1:7, Paulus mengingatkan orang-orang percaya bahwa di dalam Kristus kita telah menerima penebusan melalui darah Yesus, yaitu pengampunan atas dosa-dosa kita. Pengampunan inilah, yang Allah nyatakan kepada kita yang ada di dalam Kristus, yang harus kita nyatakan kepada orang lain. Paulus menulis dalam Efesus 4:32, “Hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Kenyataan bahwa dosa-dosa kita telah diampuni berarti kita dapat berdiri di hadapan Allah dalam keadaan tak bercacat cela atau di bawah hukuman.3

Kedua, kita telah diberi hidup yang kekal. Salah satu janji terbesar dalam agama Kristen adalah janji hidup kekal bagi orang-orang yang telah menyerahkan hidupnya kepada Kristus. Dalam ayat yang mungkin paling terkenal di dalam Alkitab, kita membaca, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” (Yoh. 3:16). Dua kali dalam perjumpaan-Nya dengan Nikodemus, Yesus memakai frasa “hidup yang kekal” untuk menggambarkan keselamatan.

Paulus melanjutkan gagasan yang sama dalam suratnya kepada jemaat di Roma ketika ia berkata, “Namun sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai kesudahannya ialah hidup yang kekal. Sebab, upah dosa ialah maut, tetapi karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.”4 Betapa luar biasanya pengharapan itu, yaitu pengharapan akan hidup yang kekal.

Ketiga, kita beroleh janji tentang surga. Kehidupan kekal yang diberikan kepada orang percaya bukanlah sebuah kesadaran tanpa emosi yang tak berkesudahan, tetapi hidup selamanya bersama Allah. Di dalam Yohanes 14:1-3 Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Janganlah gelisah hatimu. Percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku. Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab, Aku pergi untuk menyediakan tempat bagimu. Apabila Aku telah pergi dan menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat Aku berada, kamu pun berada.” Tempat yang Yesus siapkan bagi orang-orang yang mengasihi Dia digambarkan oleh Paulus di dalam 1 Korintus 2:9 sebagai “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: Semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.”5 Kita tidak dapat membayangkan seperti apa surga itu nanti; betapa indah dan cantiknya surga itu.

Meski ada banyak janji lain yang kita miliki di dalam Kristus,6 tiga janji di atas merangkum beberapa unsur yang penting dari pengharapan kita di dalam Kristus, yaitu pengharapan yang harus kita bela.

Terakhir, perhatikan bahwa ketika menjawab pertanyaan tentang pengharapan kita, kita harus menunjukkan sikap lemah lembut dan penuh hormat. Terlalu sering orang Kristen dianggap tidak toleran terhadap praktik agama dan kepercayaan orang-orang di sekitar mereka. Sayangnya, itu terkadang benar, tetapi tidak seharusnya demikian. Ketika iman kita sebagai pengikut Kristus ditantang, kita tidak dipanggil untuk merespons dengan amarah, dendam, atau kebencian, tetapi dengan kebaikan, rasa hormat, dan kasih sayang. Kita sebaiknya mengingat pepatah populer ini: “Cara kita mengatakan sesuatu sama pentingnya dengan apa yang kita katakan.” Sebagai anggota tubuh Kristus, misi kita adalah menjadi terang bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus, menjadi kesaksian yang hidup dari Roh Allah di dalam diri kita, dan dengan murah hati memberi jawaban kepada orang-orang yang ingin mengenal Allah.

Dalam beberapa pelajaran berikutnya, kita akan membahas beberapa pertanyaan yang paling sering ditanyakan tentang agama Kristen. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:

Apakah Allah itu ada?

Apakah Alkitab dapat dipercaya?

Apakah kebangkitan Yesus benar-benar terjadi?

Mengapa begitu banyak kemunafikan di dalam gereja?

Apakah hakikat dan rancangan alam semesta menunjuk kepada Sang Pencipta?

Mengapa Allah mengizinkan kejahatan dan penderitaan terjadi di dunia?

Dan, dalam pelajaran terakhir kita akan melihat beberapa langkah selanjutnya yang dapat kita ambil untuk makin bertumbuh dalam pemahaman tentang Apologetika Kristen.

Materi Pelajaran

Transkrip