Pelajaran 3, Kegiatan 2
Sedang berlangsung

Kuliah

Pelajaran Progress
0% Menyelesaikan
00:00 /

Sebagai anak-anak, sebagian besar rasa aman kita datang dari berhubungan dengan anggota keluarga lainnya. Kita ingin tahu bahwa mereka mempedulikan kita dan akan ada jika dibutuhkan.

Tidak ada yang lebih menyenangkan seorang ayah daripada mengetahui bahwa anak-anaknya suka menghabiskan waktu bersamanya, dan mereka mengandalkannya, percaya kepadanya, dan belajar darinya. Senada dengan ini, Allah, Bapa Sorgawi kita, mengundang kita datang ke hadirat-Nya. Abba adalah istilah Aram yang digunakan anak-anak Yahudi untuk memanggil bapa mereka. Padanan dalam bahasa Indonesia adalah ayah atau papa.

Di Roma 8:15, rasul Paulus berkata bahwa karena telah dijadikan anak-anak Allah maka kita bisa berseru, ‘Abba, Bapa.’ Dengan menganjurkan kita memanggil-Nya dengan sebutan yang begitu mesra, Allah tidak hanya mengundang kita datang ke hadirat-Nya, namun Dia juga merentangkan kedua lengan-Nya lebar-lebar dan mengajak kita berhubungan erat dengan-Nya. Dia bukanlah Bapa yang kaku, galak. Dia adalah Bapa Sorgawi yang rindu supaya kita mengenal-Nya.

Namun kemana kita belajar untuk memperoleh hubungan doa yang memuaskan dengan Bapa Sorgawi? Jawabannya terkandung dalam kehidupan doa Putra-Nya.

l. Pengutamaan Yesus Akan Doa

Di Markus 1:35-39, kita melihat bagaimana Yesus mengutamakan doa. Selepas hari melelahkan yang diisi dengan menyembuhkan orang sakit dan kerasukan setan hingga larut malam, Yesus bangun pagi-pagi sekali, pergi ke tempat yang sunyi, dan berdoa. Tampaknya Yesus memanfaatkan waktu ini untuk menyetel ulang rohani-Nya. Petrus menyela waktu saat teduh Yesus untuk menyampaikan permintaan tambahan dari orang banyak yang begitu menuntut. Alih-alih menanggapi permintaan yang mendesak itu, Tuhan justru menandaskan janji penjangkauan lebih luas ke kota-kota lainnya.

Melihat perikop ini lebih seksama akan memperlihatkan seluk beluk kehidupan saat teduh Tuhan kita.

A. Mencari Kesunyian dan Kebersamaan

‘Pagi-pagi benar, waktu hari masih gelap, Ia bangun dan pergi ke luar. Ia pergi ke tempat yang sunyi dan berdoa di sana’ (Markus 1:35).

Mengapa Yesus Kristus membutuhkan waktu menyendiri? Kita semua menyadari kelemahan dan dosa kita. Kebutuhan akan pemurnian dan pembaruan seringkali dirasakan oleh orang yang sungguh-sungguh percaya. Namun Alkitab mengajarkan ketidakberdosaan Tuhan kita—Dia ‘yang tidak mengenal dosa’ (2 Korintus 5:21). Jadi, mengapa Yesus pergi ke tempat sunyi ketika para murid sedang tidur?

Selama pelayanan-Nya di bumi, Tuhan Yesus memilih untuk membatasi cirri keilahian-Nya. Yesus adalah Allah sejati, namun justru memilih bergantung kepada Bapa dan Roh Kudus di dalam diri-Nya untuk bekerja melalui Dia. Yesus melakukan ini untuk memperlihatkan betapa kita harus bergantung kepada Allah. Ketergantungan ini bisa dilihat dari cara Yesus mencari waktu untuk menyendiri bersama Bapa-Nya. Istilah yang diterjemahkan menjadi ‘tempat yang sunyi’ bermakna ‘padang gurun, tanah tandus, daerah yang tidak didiami.’

Setelah kegiatan yang menguras pikiran dan perasaan seperti menyembuhkan orang lumpuh dan sakit, Kristus membutuhkan waktu menyendiri supaya persekutuan-Nya dengan Bapa sungguh bermanfaat.

Perjalanan iman membutuhkan kita datang berulangkali kepada Bapa untuk memperoleh tuntunan istimewa-Nya. Waktu menyendiri Yesus bersama Allah menggeser arah pandang-Nya dari kebutuhan setempat kepada penjangkauan yang lebih luas.

B. Menyimak Arahan Allah Di Tengah Gangguan

‘Tetapi Simon dan kawan-kawannya menyusul Dia; waktu menemukan Dia mereka berkata: “Semua orang mencari Engkau.” Jawab-Nya: “Marilah kita pergi ke tempat lain, ke kota-kota yang berdekatan, supaya di sana juga Aku memberitakan Injil, karena untuk itu Aku telah datang”’ (Markus 1:36-38).

Kata menemukan di ayat 37 sebaiknya diterjemahkan menjadi ‘mengejar-ngejar.’ Bisakah Anda bayangkan keadaan yang lebih menjengkelkan? Petrus merasa dirinya paling tahu bagaimana Kristus harus menjalani hari-Nya. Dan dia bahkan berani menyela waktu berdoa Tuhan dan memberikan nasihatnya. Kebutuhan yang disampaikan Simon Petrus jelas-jelas mendesak: ‘Semua orang mencari Engkau.’

Tidak seorangpun yang giat melayani (entah purna waktu atau sebagai sukarelawan) bisa mengelak dari tekanan ‘kelompok kepentingan’ pelayanan tertentu. Kebutuhan mereka seringkali bisa diterima, dan terkadang juga memiliki perwakilan yang memohon perhatian segera. Namun lihat apa yang Yesus lakukan. Dia tidak cemas akan dipandang sebagai seorang yang tidak tanggap terhadap kebutuhan mendesak. Hanya bermodalkan waktu dan tenaga yang terbatas, Dia telah mendapat arahan dari Bapa untuk pergi ke tempat lain.

Anda mungkin berpikir waktu menyendiri Yesus akan membuat-Nya lebih peka terhadap orang-orang yang berada di sekitar-Nya. Namun hanya memenuhi kebutuhan mereka yang ada di depan mata kita berarti mengabaikan perhatian Allah yang mencakup semua orang, terutama mereka yang hilang. Waktu menyendiri bersama Bapa-Nya membawa Yesus kembali kepada tujuan-Nya datang ke dunia: ‘untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang’ (Lukas 19:10).

C. Menerapkan

‘Lalu pergilah Ia ke seluruh Galilea dan memberitakan Injil dalam rumah-rumah ibadat mereka dan mengusir setan-setan’ (Markus 1:39).

Sangatlah mudah melewatkan betapa pentingnya ayat terakhir dari perikop ini. Ayat ini bukan sekadar rangkuman atas apa yang telah disampikan di ayat sebelumnya. Sama sekali bukan!

Ayat 39 adalah puncak dari keseluruhan perikop. Yesus sungguh-sungguh melakukan apa yang telah dijanjikan-Nya. Dia mendatangi sinagoga dan memberitakan Injil.

Istilah memberitakan Injil digunakan berulang-ulang di halaman Perjanjian Baru ketika para Rasul meniru cara kerja Tuhan menyebarkan Injil dengan memperluas wilayah penjangkauan. Wilayah pelayanan yang dibidik Yesus diperluas untuk mencakup ‘seluruh Galilea.’ Selanjutnya, ketika para murid mengikut jejak-Nya, wilayah ini diperluas ‘sampai ke ujung bumi’ (Kisah Para Rasul 1:8).

Penting untuk menerapkan apa yang diperoleh dari waktu doa kita. Persekutuan bermakna bersama Kristus terjadi ketika kita mengikuti teladan-Nya (1 Petrus 2:21) dan menerapkan Firman-Nya melalui kuasa Roh Kudus.

ll. Sebuah Pendekatan Bermanfaat Dalam Berdoa

Satu singkatan yang bisa menjadi panduan bagi waktu doa yang berimbang adalah 4P. Setiap huruf mewakili unsur kunci untuk menyambut Allah dalam doa; Pengagungan, Pengakuan, Pengucapan syukur, dan Permohonan. Mari teliti setiap unsur secara singkat untuk melihat bagaimana mereka mencerminkan kehidupan doa yang mendasar.

A. Pengagungan: Menyembah Allah karena Jati Diri-Nya

Ketika kita merenungkan apa yang diperoleh dari pelajaran hari itu, sampaikan kepada Allah apa yang Anda hargai mengenai sifat-Nya. Kata worship (menyembah) dalam bahasa Inggris sejatinya dieja ‘worth-ship’ dan bermakna mengenali dengan baik kekhasan dan kebaikan dari sesuatu. Ini yang dinyatakan oleh malaikat dan manusia yang sudah ditebus kepada Allah di Sorga, dan adalah hak istimewa bagi kita melakukannya di bumi: ‘Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat dan kuasa’ (Wahyu 4:11).

B. Pengakuan: Mengakui Dosa

Ketika menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, kita dimurnikan di hadapan Allah dari semua dosa—dulu, kini, dan yang akan datang. Meski demikian, kita masih memiliki sifat berdosa yang cenderung melanggar. Ketika memilih tidak mematuhi Allah, hati kita mengalami kebekuan rohani. Untuk itu, supaya hati kita terbuka bagi Allah, kita harus rutin mengaku dosa kepada Allah. Kata mengakui di Perjanjian Baru bermakna ‘mengatakan hal serupa seperti, atau setuju dengan’ Allah. Ini adalah waktu ketika tidak boleh ada upaya mencari-cari alasan pembenaran. Sebaliknya, kita harus terbuka dan jujur di hadapan Allah. Hasil dari ini adalah perasaan dimurnikan dan diberdayakan yang hanya bisa dilakukan oleh darah Kristus.

C. Pengucapan syukur: Bersyukur Kepada Allah Atas Kemurahan-Nya

Bersyukur menduduki peringkat tinggi di daftar sifat baik dalam kehidupan orang Kristen. Dalam catatan mengenai menjauhnya umat manusia dari Allah, Paulus mencantumkan daftar dosa yang menandakan kemerosotan menuju kebejatan moral. Yang mengejutkan, Paulus menambahkan ini ke dalam daftar: ‘tidak … mengucap syukur kepada-Nya’ (Roma 1:21).

Menjadi orang percaya di dalam Yesus Kristus bermakna menjadi penerima kebaikan Allah yang tak pandang bulu. Tatkala berdiri di muka gerbang berkat Allah, kita harus mengakui berkat kemurahan hati setiap kali kita memperolehnya. Ini bisa menjadi peluang sempurna untuk ‘menghitung berkat Anda’ setiap harinya ketika bersaat teduh.

D. Permohonan: Menyampikan Permintaan Kepada Allah

Anak-anak bisa menjadi sangat menuntut. Meski begitu, orang tua yang penyayang dengan senang hati memenuhi semua kebutuhan mereka. Pernahkan Anda perhatikan betapa menyenangkannya untuk membuat anak-anak kecil bersuka cita dengan hadiah kejutan? Yesus menuangkan gagasan ke dalam sudut pandang rohani ketika Dia berkata, ‘Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? … Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya”’ (Lukas 1:11,13).

Permohonan adalah menyampaikan kebutuhan kita kepada Bapa Sorgawi yang peduli dan rindu untuk memenuhi semua itu sesuai kehendak-Nya.

lll. Doa Sebagai Gaya Hidup

Yesus berkata, ‘Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya’ (Yohanes 14:21).

Jika kita menganggap waktu saat teduh hanya sebagai sumber air rohani sekali setiap harinya, kita mungkin jatuh ke dalam perangkap yang menyekat-nyekat kehidupan rohani.

Dari Taman Eden hingga kini, Allah rindu melangkah bersama umat-Nya dalam perjalanan hidup mereka (Kejadian 3:8). Jadi, sangatlah penting untuk membawa apa yang dipelajari dari bacaan Alkitab dan doa bersama dengan kita sepanjang harinya.

lV. Membawa Percakapan Ilahi Dalam Menjalani Hari (Lukas 24: 13-32)

Perjumpaan Tuhan kita dengan dua orang murid yang sedang berjalan menuju Emaus dipenuhi dengan petuah mengenai bagaimana menjaga percakapan ilahi dengan Allah bisa berlangsung sepanjang hari.

A. Menjumpai Yesus di Tengah Masalah Kehidupan

‘Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi.

Ketika mereka sedang bercakap-cakap dan bertukar pikiran, datanglah Yesus sendiri mendekati mereka, lalu berjalan bersama-sama dengan mereka. Tetapi ada sesuatu yang menghalangi mata mereka, sehingga mereka tidak dapat mengenal Dia’ (Lukas 24:13-16).

Sedikit yang diketahui perihal kedua murid yang berjalan dari Yerusalem, melalui jalur yang biasa dilewati, ke Emaus. Namun Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa keduanya bersusah hati. Mereka mengalami ‘konflik batin’, pergumulan perasaan yang disebabkan pengalaman hidup yang begitu mengecewakan. Meski begitu, masalah ini dirundingkan dengan bantuan seorang sahabat terpercaya. Kita sebagai manusia, secara alami, adalah pemecah masalah dan kita biasanya tidak melakukan itu sendirian.

Dengan latar belakang merasakan kebutuhan manusia inilah Yesus mendekati kedua murid yang sedang berjalan. Alangkah indahnya kalimat ini: Yesus mendekati dan berjalan bersama mereka! Kristus yang bangkit sungguh rindu untuk masuk ke dalam keadaan manusiawi kita dan memulai percakapan. Hidup adalah sebuah perjalanan dan Kristus rindu untuk menjadi kawan kita sepanjang jalan, bukan hanya sekadar orang yang kita ajak bicara ketika sedang beristirahat sejenak.

B. Berusaha Memahami Cara Allah

‘Yesus berkata kepada mereka: “Apakah yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Maka berhentilah mereka dengan muka muram. Seorang dari mereka, namanya Kleopas, menjawab-Nya: “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?”

Kata-Nya kepada mereka: “Apakah itu?” Jawab mereka: “Apa yang terjadi dengan Yesus orang Nazaret. Dia adalah seorang nabi, yang berkuasa dalam pekerjaan dan perkataan di hadapan Allah dan di depan seluruh bangsa kami. Tetapi imam-imam kepala dan pemimpin-pemimpin kami telah menyerahkan Dia untuk dihukum mati dan mereka telah menyalibkan-Nya. Padahal kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel. Tetapi sementara itu telah lewat tiga hari, sejak semuanya itu terjadi. Tetapi beberapa perempuan dari kalangan kami telah mengejutkan kami:
Pagi-pagi buta mereka telah pergi ke kubur, dan tidak menemukan mayat-Nya. Lalu mereka datang dengan berita, bahwa telah kelihatan kepada mereka malaikat-malaikat, yang mengatakan, bahwa Ia hidup. Dan beberapa teman kami telah pergi ke kubur itu dan mendapati, bahwa memang benar yang dikatakan perempuan-perempuan itu, tetapi Dia tidak mereka lihat”’ (Lukas 24:17-24).

Menjawab pertanyaan Kristus, kedua murid itu menjelaskan rincian mengenai apa yang membuat mereka muram. Ringkasan dari mereka adalah tinjauan lengkap mengenai harapan bahwa Yesus dari Nazaret adalah Mesias yang akan menebus bangsa Israel. Alih-alih, Dia dihukum mati dengan cara terkejam—penyaliban. Dan yang membuat pikiran mereka bertambah kalut, beredar laporan bahwa makam-Nya kosong dan penampakan malaikat pembawa pesan.

Kedua murid yang berjalan di samping Tuhan kita dibuat habis akal karena harapan menjulang mereka hancur berkeping-keping. Dan pengalaman mereka serupa dengan apa yang pernah kita alami.

Menjadi manusia berarti mengintip peristiwa hidup melalui lubang kunci. Masing-masing dari kita adalah terbatas, dan setiap kali kita hanya mampu melihat sebagian kecil dari apa yang kita saksikan.

Seringkali kita percaya apa yang diajarkan Alkitab tidaklah masuk akal menurut sudut pandang kita yang terbatas atas sebuah peristiwa menyedihkan yang nyata. Entah itu harapan kita mengenai bagaimana Allah seharusnya menjawab doa atau bagaimana kita memandang kemalangan hidup yang nyata, pemahaman kita sesungguhnya terbatas.

Namun Yesus ingin kita memberitahukan-Nya semua kecemasan yang dirasakan ketika kita menjalani semua pengalaman hidup. Dia membuka telinga-Nya lebar-lebar dan peduli dengan rincian hidup kita. Oleh karena hubungan istimewa kita dengan Kristus maka keterikatan kita kepada-Nya yang dituangkan melalui doa seharusnya menyertai kita dalam beragam pengalaman hidup.

C. Mengizinkan Yesus Menjelaskan Diri-Nya

‘Lalu Ia berkata kepada mereka: “Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?” Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi’ (Lukas 24:25-27).

Jawaban Tuhan kita terdengar tidak bersahabat. Namun pada kenyataannya, keadaan ini adalah contoh kasus dalam dunia pendidikan. Lihat kata-katanya. ‘Hai kamu orang bodoh’ adalah kata majemuk yang secara harafiah bermakna ‘tidak berpengetahuan.’ Kedua murid di jalan menuju Emaus merasa tidak berdaya karena hanya memiliki informasi terbatas.

‘Lamban hati sehingga tidak percaya’ memiliki makna ‘tertingal dan lambat’ dalam mempercayai Allah atas apa yang telah dinyatakan-Nya. Yesus kemudian menyediakan satu-satunya penawar bagi ketidaktahuan rohani , dan itu adalah untuk memperoleh lebih banyak informasi. Sang Guru mengajak mereka memperhatikan perikop kunci di Perjanjian Lama, yang menjelaskan bahwa Mesias harus menderita sebelum dimuliakan.

Pelajaran bagi kita hari ini adalah ketika bergumul dengan kekecewaan besar, kita harus senantiasa mengingat bahwa kita mungkin tidak memiliki informasi yang lengkap untuk memahami apa yang terjadi saat itu. Seiring bergulirnya kehidupan, Tuhan mungkin menyediakan orang dan informasi lain untuk memberi penyelesaian atas masalah itu. Namun di kasus tertentu, kita tidak akan memperoleh jawabannya hingga kita berjumpa langsung dengan Kristus dalam kekekalan. Meski begitu, karena hidup di dunia adalah sejenis tempat pelatihan, sangatlah penting untuk mau diajar dan senantiasa berhubungan dengan Sang Guru sehingga iman dan pengetahuan kta bertumbuh.

D. Belajar Untuk Menjaga Percakapan Tetap Berlanjut

‘Mereka mendekati kampung yang mereka tuju, lalu Ia berbuat seolah-olah hendak meneruskan perjalanan-Nya. Tetapi mereka sangat mendesak-Nya, katanya: “Tinggallah bersama-sama dengan kami, sebab hari telah menjelang malam dan matahari hampir terbenam.” Lalu masuklah Ia untuk tinggal bersama-sama dengan mereka’ (Lukas 24:28-29).

Terkadang tatkala kita mencapai tujuan, seorang rekan seperjalanan yang asing berubah menjadi sahabat dan kita tidak menginginkannya pergi. Kedua murid ini menempuh berkilo-kilometer untuk mendengar apa yang disampaikan ‘orang asing misterius’ ini, dan mereka ingin mendengar lebih banyak lagi. ‘Tinggallah bersama-sama dengan kami,’ adalah ajakan mereka. Kedua murid ini ingin menujukkan keramahan kepada Dia yang telah menjabarkan pemahaman mengenai nubuatan Sang Mesias.

Ada beragam keadaan dalam hidup ini yang secara alami meningkatkan atau melemahkan perkembangan kehidupan rohani kita. Kuncinya adalah mengetahui apa yang terjadi ketika hubungan kita dengan Allah mulai terputus dan mengetahui bagaimana membangun kembali kedekatan dengan-Nya.

E. Menanggapi Sekelumit Kegiatan Ilahi

‘Waktu Ia duduk makan dengan mereka, Ia mengambil roti, mengucap berkat, lalu memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada mereka. Ketika itu terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia, tetapi Ia lenyap dari tengah-tengah mereka. Kata mereka seorang kepada yang lain: “Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?”’ (Lukas 24:30-32).

Mirip dengan Perjamuan Terakhir Yesus, pemecahan roti dan pengucapan berkat juga terjadi malam itu ketika mereka makan. Kita diberitahu bahwa mata mereka terbuka dan mengenali Dia.

Sebelumnya, mata mereka ‘terhalang’ dari mengenali Dia, di sini mata mereka terbuka. Menarik bahwa kata ‘terbuka’ dibentuk dari akar kata sama dengan ‘bodoh’ dan ‘tidak tahu.’ Ini bermakna ‘merasuk ke dalam pikiran.’ Tatkala pikiran mereka memahami siapa diri-Nya, mereka mengenali Dia dari perjumpaan sebelumnya.

Yang mengejutkan, hilangnya Tuhan kita secara ajaib tidak mengundang pendapat apapun dari keduanya. Sebaliknya, mereka merenungkan apa yang dirasakan ketika sedang berjalan dan bercakap-cakap dengan Yesus mengenai Kitab Suci.

Hati mereka berkobar-kobar dengan pemahaman rohani ketika Yesus sendiri menjelaskan isi Perjanjian Lama sepanjang perjalanan. Kata yang sama untuk ‘menerangkan’ Kitab Suci supaya mereka pahami adalah kata yang juga digunakan saat mereka mengenali Dia ketika makan malam itu.

Mengenali Kristus dalam Kitab Suci dan pengalaman hidup seharusnya menjadi proses sepanjang waktu, bukan hanya satu peristiwa pada waktu tertentu saja.